"Biarkan saya mati dengan tenang, tak perlu repot memikirkan puisi. Ada baiknya saya jujur: sebenarnya saya tak terlalu suka puisi. Kau tahu, penyair lebih rumit dari sopir bajaj. Di jalanan, kalau bajaj mau belok, yang tahu hanya sopir bajaj dan Tuhan. Tapi kalau penyair menulis puisi, bahkan Tuhan dan penyairnya sendiri tak tahu, apa yang ditulisnya itu."
Itu merupakan potongan baik dari puisi 'Lelucon Menjelang Kematian' yang Agus Noor buat Gus Dur. Puisi memang rumit. Barangkali, dari dua anak kandung sastra, puisi merupakan anak yang susah dipahami. Kita bisa menilai, meresapi, atau sampai menghujat, misalnya, sebuah puisi. Sah saja. Namun, dalam sebuah kritik sastra, puisi adalah objek yang pasrah. Seperti maling yang diintrogasi polisi.
Sebagaimana sastra, puisi bisa menjadi begitu ideologis pada suatu tempat dan waktu, namun juga bisa tidak menjadi apa-apa pada waktu yang lain. Sebab tafsir dan pemaknaan dari sebuah puisi adalah kerja subjektif dari penyair. Sedangkan objeknya, mengutip Teeuw, tidak menentu dan tidak karuan.
Untuk mempertemukan kedua hal tersebut, satu-satunya jalan yang baik-nan-bijak adalah dengan melakukan kritik sastra. Tidak gampang memang, lha wong mendefinisikan sastra saja luas. Meski banyak pendekatan teori atau lainnya, kritik sastra seperti satu rangkain kronologis sejarah.
Dan untuk itulah HB. Jassin melakukan pembabakan sastra: mendokumentasikannya sekaligus memilah. Sederhananya, HB. Jassin mengelompokkan berdasarkan bagaimana iklim politik terjadi di Indonesia; Angkatan Balai Pustaka, Angkatan Pujangga Baru, Angkatan '45, Angkatan '66.
Ini bisa saja menjadi penting, karena erat kaitannya dengan melihat bagaimana puisi itu lahir. Ada beberapa kritikus sastra berpendapat, puisi itu penghayatan puitik seseorang di mana setiap orang memiliki perjalanannya masing-masing.
Tidak ada "yang benar" dan "yang salah" dari puisi. Menilai puisi, cara yang paling sederana adalah melihat baik dan buruknya seseorang menghayati --termasuk dalam berbahasa-- ketika menuliskan puisi. Ada yang tersurat dan tersirat. Ada yang mengagungkan metafor, ada yang tidak. Dan, puisi menjadi menarik --atau, bisa saja dianggap berhasil-- ketika pembacanya merasakan pengalaman yang berbeda setjap kali sudah dua atau tiga atau lebih membaca ulang sebuah puisi.
Dalam sebuah forum sederhana dan singkat saat "Focus On: Joko Pinurbo" di Kompasianival 2018 ia mengatakan, "saya saja sampai kagum sendiri ketika membaca puisi saya sendiri. Dalam hati, kok bisa ya saya membuat begini". Alasannya, lanjut Joko Pinurbo, karena ketika membaca ulang puisinya sendiri ia memosisikan dirinya sebagai pembaca, bukan lagi sebagai orang yang menuliskan puisi.
Puisi, sekali lagi, merupakan bagian dari sastra. Dan mengutip apa yang ditulis Sapardi Djoko Damono dalam pengantar buku kumpulan puisi 'Melihat Api Bekerja' yang dianggit Aan Mansyur, "Sastra baru bisa disebut 'sastra' kalau sudah disusun dalam aksara, 'sastra' adalah aksara. Ketika masih berujud bunyi tentunya yang sekarang kita sebut sastra tidak disebut 'sastra' sebab bunyi bukan aksara."
Yang dimaksudkan Sapardi tentu saja perihal bagaimana kita mendapatkan puisi tersebut. Bunyi adalah urusan telinga; aksara adalah mata, lanjutnya. Namun itu tidak menutup kemungkinan: bahwa aksara akan berbentuk bunyi. Sebab pembaca puisi cenderung melisankan kembali apa yang dibacanya.
***
Jika merujuk data Kompasiana tahun 2017, kanal Fiksiana adalah penyumbang terbesar konten yang diunggah. Alias mendominasi secara jumlah. Dan jika lebih spesifik, adalah puisi.
Setelah melihat bagaimana puisi bisa lahir dan/atau puisi secara keseluruhan, bisa kita bayangkan: betapa panjang jalan yang ditempuh untuk membuat sebuah puisi. Dan itu tidak mudah, tentu saja.
Melalui "pintu" puisi, kita bisa membaca sebuah perjalanan dan/atau perenungan Kompasianer terhadap suatu hal. Namun, tentu tetap dipicu dengan sebuah keresahan. Ia bisa diringkas atau dijabarkan.
Sebagai contoh: Puisi 'Cinta Cattleya tak Mengada-ada' yang ditulis Mim Yudiarto. Ini merupakan perjalanan kisah cinta antara 'si aku' dan 'Kau'. Tentang bagaimana pertemuan yang sulit dikatakan dengan kata-kata. Oleh karenanya, Mim Yudiarto membangun citraan puisi dengan diksi, pada bait pertama misalnya, dengan "tanah subur", "merpati yang tersesat", dan "paguponnya".
Dari ketiga frasa tersebut Mim Yudiarto ingin memberitahu perihal "si Aku" yang --entah-senang-atau-tidak akan pertemuannya dengan "Kau" ini. Karena pada larik lainnya diselingi dengan "Jangan tanyakan" dan "mencurinya dari waktu". Sebuah bentuk pernyataan yang acuh.
Namun, ketika berlajut ke bait kedua dan ketiga, citraan yang dibangun Mim Yudiarto kemudian menjadi seperti monolog. Dialog yang lahir hanya tentang "si Aku" sahaja.
Menyebar bersama udara yang diterbangi. Menunjukkan dengan jelas bagaimana sebenarnya cara mencintai. (Pada bait kedua)
Aku kemas dalam peti yang terbuat dari kayu gaharu. Agar harumnya diawetkan oleh waktu yang tak lagi berahasia kepadaku.(Pada bait ketiga)
Semacam pertemuan yang sakral yang dikisahkan oleh Mim Yudiarto dalam puisinya. Sebab, bagaimanapun, keintiman antara "si Aku" dan "Kau", mengutip dari puisinya: Siap mendengar dan melihat tibanya cinta yang tak lagi mengada-ada.
***
Noe Ichwanusshofa menjelaskan bagaimana kelamnya jalan perjuangan. Lewat puisi. Lewat perjuangan Marsinah yang mesti tewas oleh "perselingkuhan kuasa dan uang".
Puisinya juga bukan sekadar kata-kata mutiara untuk mencurahkan perasaan atau pernyataan retorik. Puisi yang oleh Noe Ichwanusshofa diberi judul 'Kasus 1773' amat lugas. Ini beberapa diksi yang Noe Ichwanusshofa gunakan: "Marsinah tergeletak tragis ditemukan", "Marsinah dibunuh!" atau "kekuasaan menghabisi Marsinah".
Kelugasan dalam berpuisi bisa saja tetap puitis. Dan, beginilah cara Noe Ichwanusshofa puitis dalam puisinya. Kegetiran, masalalu, kekejaman, dan ketidakadilan adalah pilihan puitika Noe Ichwanusshofa. Puisinya tetap indah, meski perih.
Yang kemudian menarik adalah (upaya) kebaruan dalam puisi 'Anak-anak yang Terpasung di Kotak Android'. Sri Wintala Achmad menuliskan itu sebagai bentuk keresahannya tentang pergeseran budaya dan zaman hari ini.
Puisi 'Anak-anak yang Terpasung di Kotak Android' menggabungkan antara, mengutip Farah Wardhani pada pembacaan antas puisi-puisi Aan Mansyur, memori masa lalu bercampur dengan yang sekarang, figur-figur modis dengan gawai mutakhir.
Sesuatu yang pelik, yang sebenarnya (dan ini pasti) dirasakan semua orang (kecuali untuk mereka yang tidak tersentuk tersentu teknologi informasi). Penghayatan ini yang dicoba oleh Sri Wintala Achmad kepada pembaca puisinya. Dan, menjadi menarik karena dalam puisi tersebut terkandung bahasa, tafsir, imajinasi dan kebenaran yang terkungkung dalam "satu kotak".
Sebab bahasa menghadirkan rasa, tafsir menyajikan prasangka, imajinasi menawarkan ketakterdugaan, dan kebenawan membawa kemungkinan. Oleh karenanya, mungkin, akhirnya Sri Winatala menutup puisinya seperti ini:
Tak kami saksikan anak-anak
Bermain di halaman, selain
Kapas-kapas terhempas angin
***
Bahasa yang digunakan dalam puisi, kata Goenawan Mohamad, menunjukan cara memandang dunia yang tak beku, kaku dan tertutup. Bahkan puisi juga membebaskan makna bahasa yang terpaksa dibatasi, lanjutnya dalam catatan pendek tentang puisi.
Yang kemudian jadi pertanyaan (atau batangkali menarik untuk didiskusikan?) adalah untuk apa kita masih menulis puisi? Apalagi menempatkan puisi menjadi benar atau salah? Lalu, apa menariknya puisi kalau begitu?
(Hay)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H