Di minggu-minggu menjelang diperingatinya Hari Film Nasional, Kompasianer banyak mengeluhkan tingginya harga makanan dan minuman yang dijual pengelola bioskop. Keluhan itu ditambah dengan aturan tak diperbolehkannya membawa makanan sendiri dari luar area bioskop.
Suara para pengunjung bioskop pun mencuat ke publik setelah seseorang menuliskan keluhannya di rubrik Surat Pembaca Kompas, Sabtu (10/3). Penulis tersebut mengeluhkan kebijakan pengelola jaringan bioskop XXI dan CGV Cinemas yang melarang penonton membawa minuman dan makanan dari luar. Ia juga menilai harga minuman dan makanan di bioskop bisa empat sampai lima kali lipat dari harga di kedai kecil.
Kompasianer pun turut memberikan suara sama, antara lain Irwan Rinaldi Sikumbang yang menilai harga sebotol air mineral dengan sekotak popcorn bisa sama atau bahkan lebih mahal dari harga tiket bioskop. Ia pun mengusulkan aturan larangan membawa minuman sendiri ke dalam area bioskop dicabut.
Masih Irwan, peran instansi resmi juga perlu ikut serta mencari jalan keluar atas masalah ini, misalnya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Lembaga ini memiliki wewenang untuk mengawasi usaha agar tidak ada monopoli yang merugikan konsumen.
Kompasianer Tilaria Padika juga setuju perlunya regulasi dari KPPU untuk aturan bioskop yang melarang pengunjung membawa makanan sendiri. Menurutnya, pengunjung seharusnya merupakan peluang pasar terbuka bagi pedagang camilan, bukan konsumen tertutup bagi pengelola bioskop.
Hal ini berbeda kasusnya bila pengunjung datang ke restoran dan dilarang membawa makanan dari tempat lain. Sebab bisnisnya jelas, restoran memang menjajakan makanan. Membawa makanan dari tempat lain untuk disantap di restoran lain lagi adalah tindakan yang boleh dibilang tidak masuk akal. Namun bioskop menjajakan film, bukan makanan.
Ia juga menambahkan, bahwa pengelola bioskop dan konter camilan di lobi bioskop bisa dipandang sedang melakukan integrasi vertikal. Ia mengacu pada aturan KPPU (Peraturan KPPU no 5/2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 14 UU 5/1999).
Pada aturan tersebut dijelaskan integrasi vertikal yakni, "Rangkaian proses produksi/operasi yang merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam suatu rangkaian langsung maupun tidak langsung (termasuk juga rangkaian produksi barang dan atau jasa substitusi dan atau komplementer)."
Menurutnya tayangan film dan camilan adalah barang dan jasa yang saling komplementer. Pengelola bioskop dan pengelola counter camilan melakukan integrasi vertikal untuk menguasai pasar.
Sedangkan menurut UU 5/1999 melarang integrasi vertikal untuk menguasai pasar yang dilakukan melalui, "1) menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan, dan 2) melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu."
Berdasarkan aturan tersebut penonton bioskop adalah potensi konsumen bagi pelaku bisnis makan-minum. Sudah seharusnya pedagang camilan dari mana saja boleh menjajakan barangnya kepada konsumen dan konsumen bebas memilih barang dari pedagang manapun, termasuk membawa dari rumah. Larangan membawa makanan dari luar kecuali dari konter di lobi bioskop, menurutnya dapat merugikan masyarakat (konsumen).
Sementara itu Kompasianer Yusti Yusworo memiliki pandangan yang berbeda, ia tidak melarang pengelola bioskop untuk menerapkan aturan soal makanan. Hanya saja, menurutnya, perlu kembali ke muruahnya dengan menjual kenyamanan saat menonton film: Dengan menyediakan tempat duduk yang nyaman, AC, toilet yang bersih, ruang tunggu yang nyaman termasuk penjualan makanan, misalnya.
Ia juga menambahkan, dengan semakin tinggi kelas bioskop tentu fasilitas yang disediakan pun semakin memanjakan penonton. Meski mahal tapi memiliki fasilitas sepadan. Jadi, tulisnya, ketika seseorang telah memutuskan untuk masuk ke area bioskop pengunjung telah mengetahui semua konsekuensinya.
Sedangkan perihal mahalnya harga makanan di bioskop, ia menyarankan pengunjung harus bisa menyiasatinya sendiri. Misal sebelum menonton sebaiknya makan dan minum dulu secukupnya. Makan yang kira-kira mampu menahan lapar selama pemutaran film berlangsung.
Pendapat berbeda juga diutarakan oleh Kompasianer Rijo Tobing, yang menurutnya pengelola bioskop sebagai pemilik usaha berhak menetapkan aturan bagi pengunjung yang akan menggunakan jasa (menonton film) dan membeli barang yang ia tawarkan (snack).
Pengunjung bioskop juga bebas memilih ingin menonton film di bioskop mana saja sesuai fasilitas dan aturan masing-masing. Lain halnya bila harga tiket nonton bioskop digabung dengan harga snack. Sebab hal itu dapat dinilai sebagai sebuah bentuk pemaksaan, karena tujuan utama pengunjung pergi ke bioskop adalah untuk menonton film, bukan untuk makan atau minum.
(Lbt)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H