Saban 22 Maret masyarakat dunia memeperingati sebuah momentum hasil kesepatakan idang Umum PBB ke-47 pada 1992 silam: Hari Air se-Dunia. PBB, bersama anggota negara lainnya (termasuk Indonesia), menerapkan rekomendasi dari PBB untuk mempromosikan konservasi air secara global melalui kegiatan yang nyata. Meski hingga kini mimpi air tanpa persoalan tak kunjung nyata.
Yang paling mendasar adalah berkaitan dengan air bersih dan layaknya sanitasi. Keduanya adalah dasar kebutuhan hidup setiap orang. Data terakhir yang didapat dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) tahun 2017 sebanyak 72 juta masyarakat Indonesia belum mempunyai akses air minum yang layak.
Masalah itu juga diperparah dengan besarnya jumlah kebiasaan masyarakat yang masih membuang air besar sembarangan, yakni sekitar 31 juta orang. Dampak dari itu, tingkat penderita diare, terutama anak-anak, pun terbilang besar.
Kemudian, persoalan paling baru adalah ditemukannya kandungan mikroplastik dalam air layak minum di Indonesia, berdasarkan hasil penelitian Orb Media yang bekerja sama dengan State University of New York di Amerika.
Seperti dilansir Kompas.com, penelitian itu memeriksa kandungan terhadap 11 merek minuman kemasan taraf dunia dan lokal. Dari semua merek itu, kandungan mikroplastik ditemukan di dua merek air mineral kemasan yang lazim dijumpai di Indonesia. Meski, salah satu merek itu membantahnya dengan mengatakan, aspek metodolig penelitan tersebut yang masih belum jelas.
Mikroplastik sendiri merupakan plastik berukuran sangat kecil atau ukuran yang tak bisa dilihat dengan pandangan mata telanjang.
Merespons itu Badan Pengawas Obat dan Makanan memberikan keterangannya dengan mengatakan bahwa masyarakat tetap diminta untuk tenang. Dan BPOM RI akan terus memantau isu mikroplastik dan berkoordinasi dengan lintas keahlian, akademisi, kementerian dan lembaga terkait serta asosiasi baik ditingkat nasional maupun internasional.
"Belum ada studi ilmiah yang membuktikan bahaya mikroplastik bagi tubuh manusia. The Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives (JECFA) selaku lembaga pengkaji risiko untuk keamanan pangan di bawah FAO-WHO belum mengevaluasi toksisitas plastik dan komponennya. Oleh karena itu, belum ditetapkan batas aman untuk mikroplastik. Dan Codex, sebagai badan standar pangan dunia di bawah FAO-WHO belum mengatur ketentuan tentang mikroplastik pada pangan," demikian keterangan resmi BPOM.
Persoalan lain selain kurang kualitas kandungan air adalah mahalnya biaya untuk bisa menikmati air. seperti diceritakan Kompasianer Dwi Marfuji lewat tulisannya berjudul Hari Air Sedunia, Menyoal Mahalnya Air Bersih, di Kulon Progo, Yogyakarta, Jawa Tengah.
Kulon Progo, diceritakan Dwi, memiliki sumber mata air yang melimpah dan dapat dinikmati masyarakat sejak puluhan tahun silam. Keadaan seperti inilah yang diharapkan banyak masyarakat di daerah lainnya.
Di sana sebenarnya paling tidak ada dua sumber mata air yang menempati urutan utama dalam hal penyuplaian air bersih yakni, sumber mata air Celereng dan Waduk Sermo. Hanya saja, tarif yang harus dibayarkan masih terlalu tinggi kepada PDAM, bahkan bisa dua hingga lima kali lipat lebih mahal dari tarif listrik.
"PR-PR tersebut tentunya perlu disikapi dengan bijak bila tak akan menjadi sebuah blunder. [...], salah satunya seperti adanya oknum karyawan PDAM yang terlalu terburu-buru menjawab kalau masalah biaya rekening air PDAM yang tinggi itu karena volume bak air yang terbatas, distribusi terkendala listrik, biaya pengelolaan mahal, yang paling sering yakni wajar pada pemakaian yang berlebih akan mahal, atau bisa jadi hanya kerusakan kecil pada argo/meteran air dan mungkin hanya sedikit yang mengalami jawabnya," tulisnya.
Lain lagi dengan Kompasianer Debby Febrianto Holo yang menceritakan bagaimana korporasi-korporasi di daerahnya, Sumba, NTT, tengah berusaha merebut sumber daya alam masyarakat. Padahal, bagi kami masyarakat Sumba air adalah darahnya Sumba, bahkan sumber air pun dikeramatkan.
Karena air adalah sumber kehidupan bagi masyarakat Sumba Timur yang berpenghasilan utama dari sektor pertanian, meski hidup di daerah yang curah hujannya terbatas, maka air adalah penting.
"Walhi, dalam siaran persnya menyoroti bahwa persoalan utama yang dirasakan dalam tata kelola air adalah besarnya kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan korporasi pada ekosistem air, baik rusaknya sumber ekosistem air pada wilayah hulu, maupun pencemaran pada sektor hilir," tulisnya lewat artikel berjudul Bersama-sama Menyuarakan Seruan Hari Air. Tulisan serupa tentang bagaimana akal-akalan korporasi terhadap sumber air di sana  juga pernah ia tulis dengan judul Air adalah Darahnya Tanah Humba, Milik Umat Manusia, Bukan Korporasi.
Bagaimanapun, kita sendiri sebagai masyarakat juga perlu untuk menjaga sumber air dan memanfaatkannya secara optimal, kalau negara kita yang kaya raya ini krisis air. Kompasianer Manik Sukoco pun membagikan caranya:
1. Mematikan keran air (wastafel) ketika kita sedang menggosok gigi.
2. Mematikan keran air ketika kita mencuci atau membersihkan sayuran.
3. Memasukkan sampah, minyak, kotoran, dan limbah makanan langsung ke tempat sampah, bukan membuangnya ke dalam air. Semakin kotor air limbah, maka akan semakin mahal biaya yang digunakan untuk mendaur ulang (mengembalikannya menjadi air layak minum).
4. Menyimpan air bekas mencuci sayuran atau air limbah dapur untuk menyiram tanaman.
5. Memanfaatkan air bekas mencuci piring atau baju untuk mencuci sepeda atau mobil.
(iBN)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI