Kompasiana menggelar sebuah diskusi rutin bertajuk "Perpektif" bersama Menteri Perdagangan Indonesia Enggartiasto Lukita, di Kementerian Perdagangan, Jakarta (13/3/2018). Di sana, Mendag Enggar berkisah tentang dirinya saat masih menjadi mahasiswa hingga menjadi menteri.
Mendag Enggar mengatakan, selama tujuh tahun mengenyam bangku perguruan tinggi dirinya banyak disibukkan dengan kegiatan demonstrasi. Itu tak lain karena hidupnya lebih sering di jalan.
"Itu khas lah sebagai mahasiswa dulu," katanya.
Bersama rekan seperjuangannya kala itu, Mendag Enggar kerap mendemo partai Golongan Karya (Golkar), yang notabene penguasa di zamannya. Uniknya, Partai Golkar justru punya andil besar dalam perjalanan politik Mendag Enggar.
Bermula dari ucapan mantan bosnya sewaktu masih bekerja di PT Bangun Tjipta Pratama yang menyarankannya masuk Partai Golkar, jika Mendag Enggar ingin mengubah sistem pemerintahan.
"Pak Siswono menyadarkan saya kalau mau mengubah (pemerintahan) harus masuk ke dalam sistem. Dan sistem pada zaman itu hanya satu, Golkar. Dua partai lain adalah bagian dari itu," katanya.
Menariknya, Siswono sendiri adalah salah satu tokoh utama peristiwa rasial pada 10 Mei 1963 di ITB. Bentrokan pada peristiwa terebut terjadi antara mahasiswa non-Tionghoa dengan mahasiswa Tionghoa.
Meski demikian, dikatakan Mendag Enggar, Siswono sangat profesional dan tidak sekali pun pernah bertindak rasis. "Tetapi dia seorang nasionalis tulen dan tidak ada sedikit pun sikap rasisnya. Dia tokoh pengusaha nasional idola saya," ujarnya.
Karenanya, atas saran idolanya itu, menteri yang memfavoritkan nasi jamblang dan empal gentong ini bergabung bersama Partai Golkar sebagai Wakil Bendahara Umum. Semenjak itu, karier politiknya terbilang moncer dengan terpilih sebagai anggota DPR RI tiga periode, 1999-2000 dan 2000-2004 (Partai Golkar), dan pada periode 2014 (Partai Nasdem). Sampai pada Juli 2016 dia diminta untuk menjabat Menteri Perdagangan oleh Presiden Joko Widodo dalam Reshuffle Kabinet Jilid II.
Menerima jabatan sebagai menteri, Mendag Enggar sadar bahwa ada pekerjaan berat yang menantinya. Dugaannya benar, Jokowi langsung memberikan tiga poin utama untuk Kementerian Perdagangan.
"Pada waktu Juli 2016 dipanggil presiden untuk ditugaskan menjadi Menteri Perdagangan dan beliau menekankan tiga hal: Sediakan bahan pokok, jaga bahan pokok, serta turun dan stabilkan harga," katanya di acara yang dihadiri puluhan Kompasianer itu.
Dalam menjalankan perannya sebagai menteri dirinya mempunyai beberapa pekerjaan rumah antara lain adalah menyehatkan persaingan antara pasar tradisional dan modern, yang menurutnya, sudah terlalu timpang.
"Di sini (pasar tradisional) tempatnya kumuh, becek, bau, dan harga mahal dibanding pasar ritel modern yang nyaman, bersih, ber-AC, dan harga relatif murah," terangnya. "Di tengah-tengah atau kiri-kanannya pasar dibangun lah Alfamart atau Indomaret, terutama menjelang atau setelah Pilkada sebagai kompensasi dari kepala daerah."
Meski begitu, dikatakannya, bukan berarti pasar modern harus ditutup. Sebab dia menilai ritel modern adalah sebuah keniscayaan tersendiri dalam menyerap tenaga kerja.
Mendag Enggar pun memilih pembenahan fisik dan kemitraan sebagai solusinya. Dan pemerintah ikut andil di sana. Dia pun mengancam apabila para pasar modern menolak dengan gagasan ini, "Kami akan tutup!" ucapnya.
(ibs)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H