Seiring perkembangan zaman, dalam sebuah profesi pasti tidak terhindar dari tantangan dan tuntutan baru. Suatu hal mutlak bagi kita untuk mengembangkan potensi dalam bekerja agar mampu bersaing dan tidak tertinggal. Terlebih di saat dunia sudah tidak mengenal batas seperti sekarang.
Berkembangnya teknologi digital senantiasa mempengaruhi kebiasaan seseorang khususnya dalam hal menulis dan membaca. Seperti kata Whindy Yoevestian, Editor buku dari Elex Media saat tim Kompasiana menghadiri diskusi buku dalam acara YOI Day pada Sabtu 10/11/18 lalu di Jakarta Creative Hub bahwa di masa digital seperti sekarang ini, semua orang bisa menulis. Misalnya menulis di media sosial dengan munculnya media sosial ada sarana untuk mengungkapkan hati, berpendapat, dan dibaca orang lain.
Oleh karena itu, merupakan sebuah keniscayaan di masa sekarang bahwa penulis juga dapat bertindak sebagai marketeratas penjualan bukunya sendiri. Penulis dan industri harus senantiasa beradaptasi. Hal ini lantaran persaingan antar penulis sangat ketat.
 "Sekarang persaingannya luar biasa. Di toko itu, satu tema buku yang sama saingannya paling enggak 30 judul yang sama. Sehingga bagaimana caranya membuat buku itu lebih baik dan lebih terlihat. Makanya penting banget melakukan promosi melalui platform media sosial. Itulah faktanya, Jadi kami harus beradaptasi," ungkapnya.
Dia pun bercerita pada waktu pertama bergabung dengan Kompas Gramedia, buku apapun yang diterbitkan pasti laku di pasaran karena tidak banyaknya saingan penerbit. "Kalau sekarang 2000 sampai 3000 eksemplar disebar ke seluruh Indonesia. Dulu, saya cetak 5000 eksemplar itu habisnya cepat. Itu karena pesaingnya masih sedikit, dan judul-judulnya tidak sebanyak hari ini," tambahnya.
Untuk itu berdasarkan pengalamannya menjadi bagian dari industri ketika berbicara soal peluang buku yang akan ia terbitkan, Whindy menyadari bahwa peran media sosial sangat penting untuk meningkatkan pamor buku tersebut. Karena penulis yang sudah memiliki massa di media sosial, peluangnya lebih besar dalam hal menyita perhatian masyarakat secara umum.
"Dulu kami gak pernah promosi buku, sekarang kalau kami gak promosi via media sosial apa jadinya? Kalau dulu pengarangnya nulis buku diem aja di rumah, udah laku kok bukunya. Sekarang, pengarangnya nulis buku diem aja, gak akan jalan bukunya".
Meskipun begitu, tidak menutup kemungkinan penulis yang tidak memiliki media sosial, jika naskahnya bagus dan sesuai dengan keinginan pasar, mereka tidak ragu-ragu menerbitkannya. Sebenarnya tolok ukur laku atau tidaknya sebuah karya bukan dilihat dari seberapa hitsdia di media sosial.Â
Seiring dengan mudahnya dalam mendapatkan informasi, konsumen semakin cerdas dan memiliki berbagai macam preferensi atas buku yang akan mereka beli. Konsumen kini memiliki prinsip dan tuntutan yang mendorong dunia penerbitan untuk bergerak lebih kreatif. Terlebih semenjak munculnya buku digital. Whindy bahkan mengakui bahwa fenomena komik online merupakan penghalang utama bagi industri.
Dari sisi penulis
Selain dari sudut pandang industri penerbitan, diskusi ini juga dihadiri oleh penulis fiksi dan buku-buku sastra, Dodi Prananda penulis berusia 24 tahun yang sudah berkarya semenjak ia masih sekolah dan tercatat sudah ada 10 buku terbit hingga kini. Buku yang pernah ia tulis antara lain: Musim Mengenang Ibu (2012), Waktu Pesta (2013), Rapuh (2013), Jendela (2014), Rumah Lebah (2014), dan Seribu Tahun Mencintaimu yang terbit tahun 2017 lalu.