Afrizal Malna membuat epilog yang baik untuk buku puisi terbaru Kiki Sulistyo "Di Ampenan, Apa Lagi yang Kau Cari?". Tulisnya: kehadiran puisi-puisi Kiki merupakan bagian dari gejolak baru dalam identitas puisi di Indonesia, di mana identitas puisi berada dalam semacam arus balik formalisme puisi, sebagaimana yang berlangsung dalam bentuk sajak mengukur pilihan kata melalui bunyi benturan konsonan, vokal maupun arti katanya.
Seperti "perkusi", begitu istilah yang digunakannya. Bahwa puisi-puisi yang disajikan Kiki Sulistyo mengajaknya untuk bermain-main dengan kata, bunyi, dan suara yang dihasilkan. Pilihan-pilihan diksi yang Kiki Sulistyo gunakan, tanpa sedikitpun mengesampingkan arti dan pesan dalam puisinya, mampu menjadikan puisinya menjadi lebih segar.
Membaca puisi-puisi Kiki Sulistyo kita akan diperkaya akan bahasa (-puisi) yang saling-silang di antara mendengar dan mengucapkan. Bahwa puisi-puisinya menghasilkan bunyi, sekaligus suara secara bergantian. Laiknya mendegar perkusi dari gelas-gelas yang didentingkan berirama.
Kesegaran inilah yang ditawarkan Kiki Sulistyo pada pembaca sastra Indonesia. Bahwa hal-hal seperti yang dilakukannya membuat pembaca sastra tidak kadung jenuh dengan arus utama puisi kebanyakan. Puisi menjadi sesuatu yang berkembang, tidak seperti sedang membentuk kerajaan-kerajaan fotokopi antara Guru dan Murid, jika boleh meminjam isitilah Goenawan Mohamad.
***
Kita sekarang ada pada zaman di mana teknologi hadir membawa pencerahan. Tentu itu adalah harapan. Informasi dan disinformasi saling bertabrakan langsung, keterbukaan menjadi bias, kecepatan penyebaran yang sulit lagi terhitung jumlahnya. Waktu dan ruang nyaris tiada batas. Kemudian, cobalah berhenti sejenak. Walau sekadar rehat, barangkali, puisi bisa jadi alternatif untuk mewaraskan.
Sebagaimana sastra pada umumnya, puisi kerap menyajikan sebuah "bangunan baru". Pembaruan yang digunakan dalam tatanan sosial dalam hal mengkritik, memelajari dan (pada akhirnya) merenungkan.
Kiki Sulistyo sudah memulai dengan puisi-puisinya dalam buku "Di Ampenan, Apa Lagi yang Kau Cari?". Kembali mengutip apa yang ditulis Afrizal Malna, pembaca mendapat pintu masuk melalui sebuah kerja internalisasi.... Masalalu dan masa kini serentak dibuat menjadi "waktu dalam puitika" atau "waktu puisi".
Menjadi sesuatu yang menarik jika ternyata melihat setengah lusin puisi yang ada di Fiksiana ini. Tentang bagaimana memainkan perkusi dalam puisi? Suara dan bunyi yang silih-berganti bisa kita dengar dan ucapkan.
***
Kata-kata, seringkali hadir bukan sebagai huruf, tempat menggali pemaknaan, akan tetapi sebagai bebunyian: pengulangan, konsonan yang terkandung di dalamnya, panjang-pendek suku kata dan lain-lain. Dan kita seringkali terjebak di sana. Mengernyitkan dahi; mencoba memahami maksud dari puisi. Kadang perlu juga kita merayakan puisi sebagai bunyi-bunyian yang jarang kita dengarkan.