Bila mengacu pada Standar Operasional Prosedur (SOP), idealnya memang ada pihak ketiga, dalam hal ini perawat, di antara ruang periksa di mana hanya ada dokter dan pasien. Namun, pada kenyataannya tidak. Seperti yang Dr. Sandra Suryadana ceritakan, penyebab utamanya adalah kekurangan tenaga perawat dan pasien datang sendirian.
Selalu ada ketidaknyamanan bagi Dr. Sandra Suryadana bila sedang memeriksa pasien laki-laki. Ia jadi ingat, semasa masih ko-as dulu, ada sejawat senior perempuan pernah diintip saat buang air kecil di toilet oleh seorang pasien poliklinik Rumah Sakit.
"Atau, perawat UGD yang dipegang bokongnya oleh pasien pria saat sedang dirawat lukanya. Ada juga asisten apoteker yang mendapat pelecehan seksual secara verbal saat sedang menjelaskan cara penggunaan salep antijamur," tulis Dr. Sandra Suryadana dalam artikelnya Tenaga Medis dan Pasien Sama-sama Rentan Menjadi Korban Pelecehan Seksual di Rumah Sakit.
Ini menyiratkan satu hal: bahwa pelecehan bisa diterima dan/atau dilakukan oleh siapa saja. Menurut Dr. Sandra Suryadana, sebenarnya tidak sedikit kejadian seperti ini terjadi. Hanya saja, ada landasan kemanusiaan berdasarkan sumpah profesi yang menaungi seluruh kegiatan medis. Selama pendidikan, katanya, kami diajarkan untuk menghormati manusia dan tubuhnya.Â
Oleh karenanya, bagi semua pihak yang terlibat di sini; pemerintah, rumah sakit, dan organisasi perlindungan tenaga medis mesti memperkuat pengawasan. Paling tidak, saling-menghormati antar manusia bisa sedikit cukup mengurangi melakukan tindak pelecehan tersebut. Sebab perilaku menyimpang, setidaknya, bisa kita hentikan sejak dalam pikiran --dan untuk itu bisa mengurungkan tindak pelecehan.
(hay/yud)