Ini sekadar kelanjutan kisah tim Kompasiana, Harry Ramdhaniyang menyambangi pabrik Kopi Liong Bulan di Bogor yang kabarnya berhenti berproduksi. Cerita sebelumnya bisa Anda baca lewat tautan ini. Selamat menikmati bagian kedua dari kisah ini, tentang Sketsa Berhentinya Kopi Liong Bulan yang Fiktif itu.
(Bagian 2/2)
Bogor hari itu amat terik, matahari seperti sejengkal di atas kepala. Tapi angin juga berhembus kencang. Debu-debu jalan beterbangan, malah selama perjalanan dengan motor, kau sempat lihat debu-debu itu berputar ke atas. Kau jadi ingat film-film tentang badai tornado (atau sejenisnya).
Hampir patah arang mencari kejelasan Kopi Liong Bulan, tiba-tiba sebuah pesan masuk. Pesan yang kau kirim semalam akhirnya dibalas. Om Erha Limanov, seorang pegiat komunitas literasi di Bogor. Kau senang, tentu saja. Sudah hampir 2 tahun tidak bertemu dengannya. Seorang yang riang, yang selalu punya banyak candaan dan wawasan yang mengagumkan. Kau jadi teringat malam-malam ketika kau habiskan dengannya dari terbenamnya matahari sampai bulan meninggi. Om Erha Limanov, bagi kau, adalah teman diskusi yang menyenangkan.
Ia mengajak bertemu di Warung Hitz, Bantarjati, Bogor. Kau mengiyakan. Dengan segera, dari pabrik Kopi Liong Bulan, kau gas motor kau sesegera mungkin.
Waktu memang bisa mengubah segalanya, kecuali kenangan. Kini sudah tumbuh jenggot berwarna putih di wajah Om Erha Limanov, tapi ingatan kau tentangnya tetap begitu saja. Ia tengah berhadapan dengan notebook, tampak sehabis mengerjakan sesuatu. "Mau mulai ngeblog lagi, nih," katanya.
Om Erha Limanov memersilakan kau dan kawan kau itu memesan minum. Kopi hitam tentu saja pilihannya. Ia mulai menceritakan kenangan masa kecilnya tentang Kopi Liong Bulan dari kakeknya dulu. Katanya, semasa penjajahan Kota Bogor itu dijadikan laboratotium, tempat penelitian orang-orang Belanda. "Makanya di Kebun Raya Bogor banyak jenis tanaman. Jadi banyak tumbuh-tumbuhan di bawa dari luar pulau ke sini (Kota Bogor). Bukan hanya di satu tempat, tapi Bogor keseluruhan," lanjut Om Erha Limanov.
Dan kau mulai curiga, benarkah ada kopi khas Bogor, yang kemudian dijadikan bahan dasar Kopi Liong Bulan. Namun, Om Erha Limanov langsung menapikannya. Hanya saja, mungkin, karena ada daerah Kebun Kopi, makanya di daerah tersebut dijadikan pusat penelitian kopi di Bogor. Jadi kopi saat itu tidak untuk diproduksi (diperjualbelikan), melainkan diteliti.
Tapi kemudian Om Erha Limanov menceritakan kalau dulu kakeknya, semasa pendudukan Belanda, suka ngopi-ngopi di sekitar gedung bioskop Teater Presiden. "Hampir setiap pagi dan sore di sana," ujar Om Erha Limanov. Dan biasanya, selama di sana, mereka mendiskusikan strategi-strategi penyerangan. Sebab banyak pejuang dari Bogor itu dididik untuk dikirim ke luar kota. Baru setelahnya muncul cerita-cerita yang didapat Om Erha Limanov dari orang-orang dahulu tentang Kopi Liong Bulan. Semisal, (1) bahwa dulu kopi yang digunakan untuk membuat Kopi Liong Bulan disimpan selama 8 (delapan) tahun sampai akhirnya digiling dan dikemas. Atau ada juga yang kemudian bercerita (2) kalau kopi yang digunakan membuat Kopi Liong Bulan itu dicampung dengan beras. Oleh karena itu, dulu, kata Om Erha Limanov, para pejuang -- termasuk kakeknya-- setiap pagi sarapannya adalah ngopi Liong Bulan.
Bulan jatuh di luar Warung Hitz. Tidak terasa obrolan itu sampai malam. Kau seperti tidak ingin pulang. Namun, kehendak berkata lain: malam itu Om Erha Limanov sedang ada keperluan lain. Ia pamit terlebih dulu. Kopi yang tadi kau pesan masih tersisa satu kali seruputan. Masih enak ternyata. Ketika hendak membayarnya, kata kasir yang berjaga, kopi itu gratis.
***