Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Owa Jawa dan Hal-hal yang Penting Tentangnya

21 November 2017   14:48 Diperbarui: 22 November 2017   19:19 3295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika melihat Owa Jawa langsung dengan mata-kepala sendiri, untuk pertama kalinya di hutan, hal yang kemudian terlintas dalam pikiran adalah sosok karakter si O dan si Entang Kosasih dalam novel "O" anggitan Eka Kurniawan. Itu adalah novel yang mengisahkan tentang perjuangan seekor monyet yang ingin sekali "berevolusi" menjadi manusia.

Menurut dongeng dalam novel tersebut, bahwa satu-satunya cara menjadi manusia, adalah, mengikuti manusia itu sendiri dan berperilaku seperti mereka. Sampai pada akhirnya si tokoh O sadar: menjadi manusia ternyata bisa lebih menyeramkan daripada menjadi hantu. Segala kekacauan yang dibuat manusia dilihatnya langsung dan semakin sulit ditiru.

Sepertinya hubungan manusia dengan monyet tidak pernah serta merta baik-baik saja. Seperti halnya Owa Jawa dengan manusia. Karena manusia, keberlangsungan hidup Owa Jawa malah diambang kepunahan. Tapi ada yang perlu ditegaskan, Owa Jawa bukanlah monyet, Owa Jawa adalah kera. Bedanya, kera tidak memiliki buntut/ekor, sedangkan monyet punya. Jadi jika ingin mengumpat, mulai saat ini, cobalah untuk tidak asal-asalan.

***

Cinta dan ketololan seringkali hanya masalah bagimana seseorang melihatnya. (O, hal. 216)

***

Owa Jawa yang tengah duduk-duduk santai di salah satu pohon, (sepertinya sedang) melihat ke arah kerumunan manusia. Dan kami yang tiba-tiba antusias melihat Owa Jawa itu, mungkin dalam hitungan detik, terjadi saling-tatap yang lamat-lamat saling mengagumi. Wajar saja, orang kota memang gampang kagum pada hal-hal yang sebenarnya umum. Inikah primata yang kini tengah jadi buruan manusia ini? Diperjual-belikan dan dipelihara sebagai hewan peliharaan eksotis. Sayangnya, itu adalah kejahatan yang banyak tidak disadari manusia kebanyakan.

Sumber: Pertamina
Sumber: Pertamina
Bersama para Kompasianer, kami berkesempatan mendatangi kawasan konservasi Owa Jawa di kawasan Bodogol, Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango. Tempat tersebut sudah sejak 2013 menjalin kerjasama dengan Pertamina. Tujuan utamanya sudah tentu mengembalikan sifat "keliaran" Owa Jawa dari tangan-tangan usil manusia. Dari penyelamatan dan rehabilitasi Owa Jawa, pelepasliaran, reintroduksi, dan monitoring Owa Jawa, dan program edukasi masyarakat sekitar.

Perlu diketahui, di Indonesia, hanya ada dua hewan yang boleh dipelihara: kucing dan anjing. Karena memang hanya kedua hewan itulah yang telah ter-defaultuntuk ditumbuhkembangkan menjadi hewan domestik. Selebihnya, tidak, apapun alasan --termasuk Owa Jawa. Tapi karena keunikan dan kelucuannya, bayi Owa Jawa jadi diburu. Induknya dibunuh. Pejantannya lama-lama menjadi stres dan kemudian mati. Jika terus dibiarkan, sudah tentu adalah kepunahan.

Sumber: Pertamina
Sumber: Pertamina
Begini. Owa Jawa itu tidak hanya unik karena bentuknya yang lucu dan menggemaskan. Owa Jawa juga tidak hanya menarik karena memiliki sifat yang mirip sekali seperti halnya manusia. Owa Jawa menjadi penting untuk dijaga dari kepunahannya karena Owa Jawa adalah primata penunggu di hutan Gunung Gede-Pangrango. Induk dari Owa Jawa hanya bisa melahirnya 3-4 anak saja. Itu pun pejantan Owa Jawa hanya bisa melakukannya reproduksi kepada betinanya 2-3 tahun sekali. Jadi bisa dibayangkan, betapa kepunahan seakan menjadi nama tengah Owa Jawa bila perburuan terhadapnya dibiarkan.

Owa Jawa memiliki sifat monogami, yang artinya hanya (mau) mengawini satu betina saja. Untuk menyematkan setia seperti berlebihan. Bisa jadi tidak bisa move-on (maaf, ini becanda). Permasalahan inilah yang tengah dihadapi oleh Owa Jawa. Ketika manusia memburu 1 bayi Owa Jawa, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, yang mesti dilakukan adalah membunuh induknya. Pejantanya jadi stres dan mati. Jika dibuat kalkulasi dengan sederhana: memburu 1 bayi Owa Jawa, paling tidak bisa membunuh 3 Owa Jawa dalam satu waktu.

Pun, keberadaan Owa Jawa amat erat akan kehidupan manusia. Bahkan jika boleh sedikit berlebihan, justru manusia yang menggantungkan hidupnya pada Owa Jawa. Namun kemudian bisa jadi timbul pertanyaan: memang apa hubungannya?

Manfaat terbesar Gunung Gede-Pangrango, jika masih berfungsi dengan baik, adalah menahan dan menampung air hujan melalui akar-akarnya. Kalau pohon-pohon itu ditebang dan tidak dijaga, maka air yang dari hujan akan turun langsung. Mengalir ke Bogor dan mengakhirinya di Jakarta. Kemudian yang terjadi adalah Jakarta tenggelam. Cukupkan dulu sampai di sini. Mungkin perlu digaris bawahi: kemudian yang terjadi adalah Jakarta tenggelam. Akibat terburuk, semoga ini tidak terjadi, Indonesia akan lumpuh. Sebab hanya di Indonesia pusat pemerintahan dan bisnis ada di satu kota, namanya Kota Jakarta.

Lalu apa yang dilakukan Owa Jawa di Gunung Gede-Pangrango? Selain menjadi habitat Owa Jawa, di sana Owa Jawa menjaga agar supaya hutan Gunung Gede-Pangrango tetap hidup. Dari apa yang Owa Jawa makan, bijinya kemudian tumbuh pohon. Terus seperti itu, dari satu titik ke titik lainnya.

Sumber: Pertamina
Sumber: Pertamina
Untuk itulah penyelamatan dan rehabilitasi Owa Jawa itu menjadi penting. Untuk itulah kita mesti peduli terhadap keberlangsungan hidup Owa Jawa. Dan, barangkali, untuk itu juga Pertamina menaruh perhatian khusus kepada Owa Jawa.

***

Melihat laku hidup manusia dari novel "O" itu lucu. Aligori yang disajikan Eka Kurniawan pada pembacanya menjadi dekat dan lekat.

Ada satu fragmen di mana tokoh O yang sudah menjadi peliharaan seorang tukang topeng menyet keliling diselamatkan oleh seekor anjing bernama Kirik. Bagi si O, tentu semakin sering bersama tukang topeng monyet keliling akan membawanya semakin dekat kepada mimpinya menjadi manusia --dan cintanya kepada Si Entang Kosasih. Sedangkan bagi si Kirik, apa yang dilakukan si O adalah kebodohan. Bahwa semakin ia bersama dengan tukang topeng monyet keliling, justru itu menyiksanya.

Barangkali benar apa yang ditulis Eka Kurniawan dalam novel "O": cinta dan ketololan seringkali hanya masalah bagimana seseorang melihatnya. Seperti kecintaan manusia kepada binatang, khususnya Owa Jawa, tapi dengan memburunya, memilikinya. (hay)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun