Jakarta - Pernah mendengar kasus henti jantung mendadak? Meski sama-sama menyerang organ jantung, kasus "henti jantung" memiliki karakteristik yang berbeda dengan "serangan jantung."
Tim konten Kompasiana yang diwakili oleh Luthfia Rizki berkesempatan hadir dalam acara diskusi beserta penyuluhan soal bahaya dan penanganan Kasus Henti Jantung.Â
Dalam diskusi yang diselenggarakan bersama Philips Indonesia ini, Kardiolog Dr. Jetty R. H. Sedyawan, Sp.JP (K), FIHA, FACC menyampaikan bahwa serangan jantung diakibatkan oleh adanya penyempitan pembuluh darah koroner sehingga terjadi mati jaringan. Salah satu gejalanya adalah dada terasa sesak.
"Pada serangan jantung, jika nadi terasa melemah, maka detak jantung bisa dirangsang kembali dengan menyuruh korban untuk batuk," ujar Dr. Jetty.
Namun ia menambahkan, jika kondisi nadi berdetak cepat, cara batuk ini tidak dianjurkan. Korban serangan jantung harus segera dilarikan ke rumah sakit dalam enam jam setelah serangan jantung terjadi.
"Tetapi lain halnya dengan kasus henti jantung mendadak atau henti jantung napas. Korban akan hilang kesadaran, nadi tidak terdeteksi, dan tidak ada napas," lanjutnya.Â
Untuk menyelamatkan korban kasus henti jantung ini, kuncinya adalah kecepatan pemberian pertolongan pertama. Setidaknya dalam masa nol sampai empat menit pertama korban harus diberi pertolongan pertama.Â
Dalam masa emas empat menit pertama inilah bisa dilakukan teknik CPR pada korban henti jantung untuk merangsang kembali denyut jantung dan mencegah timbulnya kerusakan pada otak. Korban diberikan pertolongan pertama dengan CPR sebelum diberikan pertolongan medis lebih lanjut oleh tenaga kesehatan.
Untuk melakukan teknik CPR, diperlukan sebuah pelatihan khusus dari ahlinya. Karena teknik CPR yang sempurna bisa meningkatkan kesempatan hidup pada korban henti jantung mendadak.
Tahapan yang harus diterapkan untuk melakukan CPR dalam kondisi gawat darurat adalah Danger, Response, Compression, Airway, dan Breathing.
1. Danger (Perhatikan kondisi sekitar)