Untunglah si "Aku" dalam puisi buru-buru merusak situasi itu dengan menutup puisi bagian pertama: "Aku jadi rajin berdoa dan menulis puisi." // "Kalau begitu, besok Duka akan ibu adopsi."
Dari kata "benefit" yang kemudian tiba-tiba muncul itu, semoga kita paham: bahwa pendapatan, keuntungan, manfaat kepada oranglain selalu bermuara pada kebaikan. Entah itu dari siapa sahaja. Ibu, teman atawa pasangan yang masih kalian angan-angankan.
Pun dengan Hans Hayon. Dari puisinya yang berjudul "Pesan Ibu Ketika Masih SMP" yang ditulis dengan liris itu kita dibawa ke sebuah wasiat/pesan/wejangan yang setidaknya mesti kita jaga dan turuti.Â
Jika engkau mencintai seorang sahabat
Dan kini belajar untuk mencintai wanita
Janganlah pernah merasa hebat
Karena salah satu dari keduanya akan membuatmu buta
***
Segala yang rapuh dan sepuh dari puisi "Akan Kutanam Hutan di Pucuk Kepalamu" yang ditulis Roni Ibnu dan "Dulu Kata yang Utuh, Kini Kata yang Cerai" yang ditulis Aji Latuconsina, bisa kita rasakan sejak dari bait-bait awal.
Dulu, | kata-kata itu adalah pohon yang utuh | dari buah bibir sekeranjang penuh | saat jiwa ranum pada rasa dan peluh | serat rona wajah giurkan nafsu tubuh
Sedangkan Roni Ibnu menulis: Aku, rakus kau telan | kemudian hanya gelap | lalu debar jantungmu || sesungguhnya, | malam itu aku telah mati | terhisap bibirmu yang maut
Namun, yang perlu dipahami dari kedua puisi tersebut adalah pertanyaan-pertanyaan yang (kemungkinan) muncul kepada diri sendiri. Perihal hari tua dan orang-orang yang kita sayangi nantinya.
***
"Sukadamai" adalah semacam senjata untuk bagaimana cerpen bisa menjadi alternatif untuk menyampaikan pendapat. Putra Bolmut membuat semacam alegori dari cerpen itu kepada pembacanya tentang hal-hal yang belakangan tengan ramai diperbincangkan: penggusuran oleh pihak Asing. Senada dengan "Tanah Para Buyut" yang ditulis Aura Asmaradana. Bedanya, ia menuliskannya dengan tersurat sekali bagaimana "penggusuran" itu ada dan nyata di depan mata kita. Dialog-dialog singkat yang Aura Asmaradana gunakan pun mencerminkan bahwa di tengah penggusuran memang tak banyak yang bisa kita lakukan, sekalipun itu bercakap.
Cerpen "Cerutu Sang Presiden" yang ditulis Dahrun Usman juga demikian. Dengan latar negara Kuba, ia coba menebarkan beberapa simbol/tanda dalam cerpennya, semisal cerutu, pemberontakan dan Sang Presiden yang Tercinta. Andai sejarah ditulis sedemikian menarik seperti cerpen "Cerutu Sang Presiden", barangkali yang diributkan bukan lagi siapa-yang-berkuasa namun, siapa-yang-bisa-menulis-sejarah-sebaik-mungkin.
***
Manalah arti menari dicari-cari dari tadi
Nyatanya ilusi mimpi malam dipoles imaji pagi
Akal pikiran malah dipulas dingin embun
Lalu harap hirup udara dari hidup berpantun --Puisi | Fonemika oleh Taufik Hidayat.
***
Akhirnya segala yang hanya bisa kita waspadai --atau takuti-- akan hilang. Sebagaimana malam dan perasaan yang disia-siakan. Selamat akhir pekan dan merayakan malam minggumu. (Hay)
*) Tulisan Goenawan Mohamad diambil dari Caping edisi 7 Mei 2017: Ras.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H