Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menimbang Pembubaran HTI dari Berbagai Aspek

26 Mei 2017   07:23 Diperbarui: 26 Mei 2017   11:34 1740
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: www.islamrahmatanlilalamin.org

Pemerintah melalui Menkopolhukam menyatakan akan membubarkan HTI. Pembubaran ini ditenggarai karena HTI dianggap bertentangan dengan Ideologi negara yaitu Pancasila. namun pembubaran ini mendapat tanggapan berbeda dari seluruh lapisan masyarakat. Kompasianer juga memiliki beragam tanggapan soal aksi pemerintah tersebut.

Ada Kompasianer yang menganggap kebijakan ini amat berani dilakukan oleh Jokowi mengingat banyak desas-desus mengatakan bahwa ia akan maju menjadi calon Presiden pada Pilpres tahun 2019. Lainnya menangkap setidaknya tiga alasan bersayap yang dikeluarkan oleh Menkopolhukam ketika membubarkan HTI dan berpotensi memberangus ormas lainnya semisal FPI.

Lalu ada juga yang menganggap bahwa ini adalah cara pemerintah untuk membungkam suara rakyat seperti yang dilakukan oleh Soekarno yang ketika itu ingin membubarkan HMI akibat kontra revolusioner tapi urung dilakukan. Lainnya menganggap kebijakan ini benar, merujuk pada sejarah berdirinya Indonesia serta perjalanan panjang sistem Khalifah dilihat dari aspek kebaruannya terhadap dinamika dunia. Berikut lima opini Kompasianer tentang Pembubaran HTI. 

Sumber gambar: KOMPAS.com
Sumber gambar: KOMPAS.com
1. Menimbang Nasib FPI Pasca Pembubaran HTI

Politik identitas yang makin digalakan oleh pemerintah kepada masyarakat, berkatnya pemerintah harus berhati-hati agar tidak dikata otoriter oleh warganya sendiri. Alih-alih membenahi carut marutnya dunia ormas saat ini, Kompasianer bernama Yon Bayu menilai alasan pemerintah membubarkan HTI bisa mengancam organisasi kemasyarakatan lain semisal FPI.

Dari lima point pernyataan pemerintah tentang HTI, terdapat tiga poin bersayap sehingga bisa menjadi pembenaran memberangus ormas penentang kebijakan pemerintah lainnya. Pertama “sebagai ormas berbadan hukum, HTI tidak melaksanakan peran positif untuk mengambil bagian dalam proses pembangunan guna mencapai tujuan nasional,” menurut Yon, alasan ini sangat subjektif karena terdapat kesan bahwa ormas yang tidak mengambil peran positif dalam pembangunan diangga[ sebagai musuh negara.

Jika pembangunan yang dimaksud adalah agenda kerja pemerintah, maka FPI tidak masuk dalam ormas pendukung pemerintah. Tengoksaja aksi yang marak terjadi ketika bulan Ramadan tiba, oknum FPI sering melaskukan aksi sweeping ke tempat hiburan serta restauran yang buka. Bagaimana dengan dua point lainnya? Silahkan buka tautan berikut

Sumber gambar : http://cdn2.tstatic.net
Sumber gambar : http://cdn2.tstatic.net
2. Pembubaran HTI, "Perjudian Politis" Jokowi Jelang Pilpres 2019?

HTI adalah ormas keagamaan yang memiliki basis pendukung cukup besar di Indonesia. Untuk itu, menurut Kompasianer bernama Pebrianov, apa yang dilakukan Jokowi adalah sebuah perjudian. Menurutnya selama Jokowi memimpin Indonesia, ia melakukan banyak kebijakan yang bisa melemahkannya di Pilpres 2019 seperti pencabutan subsidi BBM, pembangunan infrastruktur berskala sangat besar, politik perdagangan internasional dan investasi condong ke Timur (khususnya Tiongkok), amnesty pajak, melakukan 'perang' terhadap mafia hasil kelautan, dan lain-lainnya. Boleh dikata, semua kebijakan tadi adalah perjudian citra politis Jokowi.

Era Jokowi dan era presiden terdahulu memiliki beberapa perbedaan, jika pemerintahan terdahulu akan merangkul pihak-pihak yang membuat gaduh diakomodasi sehingga hanya ada riak-riak kecil dalam selama jalannya pemerintahan. Sehingga rezim tersebut mampu duduk manis di kursi kepemimpinan berkat abntuan para elit pembawa politik identitas.

Menurut Pebrianov, bisa jadi yang dilakukan oleh Jokowi untuk membubarkan HTI ada baiknya tapi Joko Widodo harus berhati-hati dalam menerapkan strategi nanti jika ia ingin kembali menjadi Presiden. “Bagi Jokowi, sebuah gelompang arus kepenolakan bukanlah semata bunuh diri investasi, justru sebaliknya, kerugian adalah awal menjemput dan mengelola keuntungan dikemudian hari. Bagaimana implementasinya? Itu rahasia pedagang. Yang penting "konsumen luas" bisa sehat dan sejahtera dulu,” katanya. 

Sumber Gambar: www.islamrahmatanlilalamin.org
Sumber Gambar: www.islamrahmatanlilalamin.org
3. Pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia: Solidaritas Gerakan dan Beberapa Catatan

Hizbut Tahrir yang didirikan oleh Taqiyuddin al-Nabhani pada tahun 1953 di Yordania ini eksis di berbagai negara. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) mendapat pengakuan resmi oleh negara pada tahun 2006 ketika masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sejak saat itu, banyak kegiatan yang dialkukan oleh HTI halaqah di tingkatan kampus hingga hajat besar seperti Konferensi Khilafah International (KKI) pada tahun 2007 di Gelora Bung Karno, dan Indonesia Congress of Muslim Student (ICMS) tahun 2014, juga kerjasama-kerjasama program dengan pemerintah daerah telah berjalan.

Beberapa kegiatan tersebut sudah mendapat respon dari berbagai kalangan, sehingga menurut kompasianer bernama A. M. Dana Suherman pembubaran ini akan diikuti dengan beberapa hal yang mungkin akan terjadi. Pertama, akan timbul kesan dari sekelompok masyarakat bahwa pemerintah telah memenjarakan kebebasan berpikir, berpendapat, dan berserikat.

Kedua jika HTI nanti benar-benar dibubarkan, ia berharap tidak ada tragedi kemanusiaan  seperti yang terjadi pada PKI. Karena semua anggota HTI masih memiliki hak untuk hidup dan menjalani kehidupan seperti warga negara Indonesia pada umumnya.

Ketiga pembubarah HTI bukanlah pembubaran ideologi, sehingga bisa saja pucuk pimpinan HTI akan kembali membangun organisasi baru dengan semangat baru dan pandangan yang hampir mirip dengan HTI. “Tetapi dalam tatanan internal mereka (HTI) akan kembali membangun kekuatan diatas pondasi-pondasi yang telah lama mereka bangun, dan suatu saat nanti akan timbul kembali ke permukaan dengan format yang ‘mungkin’ berbeda namun dengan spirit, dan visi misi yang sama. Atau malah sempalan-sempalannya akan menjadi ‘gerakan gorong-gorong’ yang sifatnya ekstrim dan radikal hingga mengganggu stabilitas keamanan nasional,” katanya.

www.voa-islam.com
www.voa-islam.com
4. Mengenang HTI

Kompasianer bernama Jambi Besma Martien dalam artikel ini menuturkan tentang pengalamannya selama kuliah, ia mengaku sering berdiskusi dengan banyak orang dengan latar belakang berbeda termasuk seorang simpatisan HTI. Menurutnya HTI memiliki cita-cita untuk mewujudkan Indonesia yang sejahtera.

Menurutnya Hizbut Tahrir berarti partai pembebasan dan di tingkat mahasiswa memiliki gerakan otonom bernama GEMA Pembebasan. Jika berbicara soal sistem khilafah, mereka sering tertutup dan memilih kawan berdiskusi. Dalam alam pikiran Hizbut Tahrir, Islam mampu mencapai kejayaan saat sistem pemerintahan khilafah dimulai dengan khulafaur Rasyidin, Umayyah, Abbasiyah, dan Ustmaniyah.

Ia menagnggap pemerintah tebang pilih dalam menjalankan peraturan, karena ada kelompok lain dengan paham yang jelas-jelas dilarang (TAP MPRS nomor 25 tahun 1966) tapi masih mendapatkan kebebasan. “Jadi teringat dengan sejarah pembubaran Masyumi dan PSI, yang dianggap terlibat pemberontakan PRRI dan Menolak Manipol/USDEK, ataupun HmI yang hampir dibubarkan karena dianggap kontrarevolusi dan reaksioner. Justru utamanya adalah bukan alasan ideologi melainkan berbeda pendapat dengan Penguasa,” katanya.

Sumber: kabarnews
Sumber: kabarnews
5. HTI dan Konsep Khalifah yang Sudah Tak Relevan

Menurut Kompasianer bernama Andi Abdul, HTI bercita-cita mewujudkan Indonesia sebagai bagian dari Khilafah Islamiyah, sebuah bentuk pemerintahan terdiri dari negara-negara islam. Selanjutnya negara ini akan menggunakan hukum islam sebagai landasan bernegara. Menurutnya, konsep ini terlalu muluk dan memiliki banyak kelemahan terutama relevansinya terhadap kondisi negara-negara di dunia saat ini.

Dalam Alquran memang tidak dijelaskan untuk menggunakan khilafah sebagai sistem pemerintahan. Kewajiban yang diatur di sana hanya kewajiban mengangkat pemimpin, sebab kepemimpinan adalah hal yang amat pentinf bagi manusia.

“Sistem pemerintahan ala Khalifah justru muncul setelah Nabi wafat atau masa Khulafaurrasyidin. Itupun tidak serta merta menjadi bentuk sistem pemerintahan yang baku, sebab dalam perjalanannya, metode pengangkatan pemimpin atau imam-nya pun mengalami perubahan,” katanya.

Pada zamannya, sistem ini memang digunakan karena saat itu kebanyakan bangsa menggunakan sistem nation state atau di bawah naungan bangsa-bangsa. Ketika Khilafah bubar tahun 1924, sebagian negara muslim mengadopsi sistem pemerintahan demokrasi.

Menurutnya, jika konteksnya adalah Indonesia maka masyarakat harus mengikuti apa yang telah di mufakatkan oleh para pendiri bangsa yaitu mengakui bahwa landasan negara adalah Pancasila dan sistem pemerintahan demokrasi.

“Maka wajar ketika ada Hizbut Tahrir, atau organisasi apapun yang berusaha mengubah bentuk atau sistem pemerintahan negara Indonesia akan mendapat hadangan dari pemerintah, sebab mewujudkan khilafah berarti membubarkan negara yang ada saat ini,” tutupnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun