Hizbut Tahrir yang didirikan oleh Taqiyuddin al-Nabhani pada tahun 1953 di Yordania ini eksis di berbagai negara. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) mendapat pengakuan resmi oleh negara pada tahun 2006 ketika masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sejak saat itu, banyak kegiatan yang dialkukan oleh HTI halaqah di tingkatan kampus hingga hajat besar seperti Konferensi Khilafah International (KKI) pada tahun 2007 di Gelora Bung Karno, dan Indonesia Congress of Muslim Student (ICMS) tahun 2014, juga kerjasama-kerjasama program dengan pemerintah daerah telah berjalan.
Beberapa kegiatan tersebut sudah mendapat respon dari berbagai kalangan, sehingga menurut kompasianer bernama A. M. Dana Suherman pembubaran ini akan diikuti dengan beberapa hal yang mungkin akan terjadi. Pertama, akan timbul kesan dari sekelompok masyarakat bahwa pemerintah telah memenjarakan kebebasan berpikir, berpendapat, dan berserikat.
Kedua jika HTI nanti benar-benar dibubarkan, ia berharap tidak ada tragedi kemanusiaan seperti yang terjadi pada PKI. Karena semua anggota HTI masih memiliki hak untuk hidup dan menjalani kehidupan seperti warga negara Indonesia pada umumnya.
Ketiga pembubarah HTI bukanlah pembubaran ideologi, sehingga bisa saja pucuk pimpinan HTI akan kembali membangun organisasi baru dengan semangat baru dan pandangan yang hampir mirip dengan HTI. “Tetapi dalam tatanan internal mereka (HTI) akan kembali membangun kekuatan diatas pondasi-pondasi yang telah lama mereka bangun, dan suatu saat nanti akan timbul kembali ke permukaan dengan format yang ‘mungkin’ berbeda namun dengan spirit, dan visi misi yang sama. Atau malah sempalan-sempalannya akan menjadi ‘gerakan gorong-gorong’ yang sifatnya ekstrim dan radikal hingga mengganggu stabilitas keamanan nasional,” katanya.
Kompasianer bernama Jambi Besma Martien dalam artikel ini menuturkan tentang pengalamannya selama kuliah, ia mengaku sering berdiskusi dengan banyak orang dengan latar belakang berbeda termasuk seorang simpatisan HTI. Menurutnya HTI memiliki cita-cita untuk mewujudkan Indonesia yang sejahtera.
Menurutnya Hizbut Tahrir berarti partai pembebasan dan di tingkat mahasiswa memiliki gerakan otonom bernama GEMA Pembebasan. Jika berbicara soal sistem khilafah, mereka sering tertutup dan memilih kawan berdiskusi. Dalam alam pikiran Hizbut Tahrir, Islam mampu mencapai kejayaan saat sistem pemerintahan khilafah dimulai dengan khulafaur Rasyidin, Umayyah, Abbasiyah, dan Ustmaniyah.
Ia menagnggap pemerintah tebang pilih dalam menjalankan peraturan, karena ada kelompok lain dengan paham yang jelas-jelas dilarang (TAP MPRS nomor 25 tahun 1966) tapi masih mendapatkan kebebasan. “Jadi teringat dengan sejarah pembubaran Masyumi dan PSI, yang dianggap terlibat pemberontakan PRRI dan Menolak Manipol/USDEK, ataupun HmI yang hampir dibubarkan karena dianggap kontrarevolusi dan reaksioner. Justru utamanya adalah bukan alasan ideologi melainkan berbeda pendapat dengan Penguasa,” katanya.
Menurut Kompasianer bernama Andi Abdul, HTI bercita-cita mewujudkan Indonesia sebagai bagian dari Khilafah Islamiyah, sebuah bentuk pemerintahan terdiri dari negara-negara islam. Selanjutnya negara ini akan menggunakan hukum islam sebagai landasan bernegara. Menurutnya, konsep ini terlalu muluk dan memiliki banyak kelemahan terutama relevansinya terhadap kondisi negara-negara di dunia saat ini.