Puisi, biar bagimana pun, adalah karya fiksi. Entah dari bentuknya, atau kejadian nyata yang dituliskannya. Oleh karenanya, bagi Eka Kurniawan dalam suatu wawancaranya dengan Desi Anwar, menyebut puisi adalah kerja penyair yang concern terhadap kata dan meski menghadapi puluhan baris sahaja.
***
“walaupun yang saya tulis adalah realitas, tapi sebagai fiksi ia telah menjadi dunia yang lain. Fiksi bukan penggandaan realitas. Ia adalah dunia yang berdiri sendiri.” Nayla, 2005. Djenar Maesa Ayu.
Kerja penyair, barangkali, ada yang berangkat dari keresahan; sebuah realitas yang menggangu, sehingga perlu dituliskan. Ini yang mungkin membuat pembaca sulit menanggalkan puisi sebagai karya. Sebab, puisi dianggap menjadi lekat dan amat dekat pada kehidupan (nyata) penyairnya.
***
Melihat puisi sebagai karya tentu perlu pendekatan terhadap puisi itu sendiri. Sehingga pembaca bisa menginterpretasikannya sampai menghargainya sebagai puisi yang baik.
Kami mencoba mengurasi puisi-puisi yang masuk pada bulan Maret serupa bentuk apresiasi pada karya puisi. Tentu dengan pendekatan yang berbeda-beda. Membuat jembatan antara pembaca dan karya puisi dari penyair itu sendiri. Tidak banyak memang, hanya empat. Namun, paling tidak ini mampu mewakili banyaknya puisi-puisi di kanal Fiksiana.
Adapaun bulan Maret lalu bertepatan dengan perayaan ulangtahun Komunitas Fiksi: Rumpies The Club.
Berikut kurasi keempat puisi tersebut:
1. Hari Raya Pemulung Tua
Puisi Hari Raya Pemulung Tua yang dianggit oleh Tilaria Pinadika adalah bentuk puisi, yang oleh Sapardi, dan mungkin berkali-kali disampaikan dalam berbagai kesempatan sebagai bentuk bunyi. Bahwa puisi adalah bunyi. Kata merupakan satuan bunyi yang bila dihimpun dengan baik, menghasilkan suara yang enak bila didengar (atau diucapkan, ketika puisi itu dibaca).
Pemilihan kata atau diksi yang digunakan Tilaria Pinadika dalam puisinya sangat baik dalam bentuk atau pemenggalan lariknya. Lihat saya pada bait ini: Ketika tiba terik siang / kita bersantap dengan riang / si Tua susuri gang demi gang / tubuh legam terpanggang
Ada cerita memang yang ingin disampaikan Tilaria Pinadika, namun yang jauh lebih menarik dari puisinya adalah (seakan) ia memperhitungkan betul jumlah kata tiap larik, suku katanya, dan yang juga tidak kalah penting: memiliki akhiran yang sama, selaiknya pantun. Yha, seperti pantun, puisi juga mesti punya sampiran dan isi.
2. Monokrom
Sastra mungkin tidak bisa mengubah dunia, tapi sastra paling tidak bisa mengubah pikiranmu. Begitu kata Eka Kurniawan. Membaca puisi yang dianggit Pical Gadi, Monokrom, menggambarkan dengan tersirat maksud dari Eka Kurniawan tersebut. Lihat bait terakhir puisinya: Mengapa tak jeda sejenak saja / lalu lihatlah mata anak-anak kita / saat memandang dunia / ada pelangi di mata mereka.
Dalam upaya memahami karya puisi, bisa kita pertanyakan kembali pada diri kita (pembaca): interpretasi apa yang didapat setelah membaca puisi? Adakah kaitannya dengan pengalaman atau pengamalan yang ingin disampaikan penyair kepada pembacanya?
Dan, Pical Gadi membawa hal-hal seperti itu untuk puisinya. Ada harapan, ada doa, ada pencapaian yang disuarakan dalam puisi tersebut, yaitu: kompleksnya hidup manusia, yang tidak bisa dilihat satu dimensi saja. Kemudian lewat puisinya, Pical Gadi member sebuah solusi pada bait terakhir yang tadi sudah dijelaskan diawal.
***
“Sastra mungkin tidak bisa mengubah dunia, tapi sastra paling tidak bisa mengubah pikiranmu.” – Eka Kurniawan.
***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI