Mohon tunggu...
Kompasiana News
Kompasiana News Mohon Tunggu... Editor - Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana: Kompasiana News

Akun ini merupakan resmi milik Kompasiana. Kompasiana News digunakan untuk mempublikasikan artikel-artikel hasil kurasi, rilis resmi, serta laporan warga melalui fitur K-Report (flash news).

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dakwaan Penuntut Umum KPK Menunjukkan Gambaran Besar Korupsi E-KTP

9 Maret 2017   16:17 Diperbarui: 9 Maret 2017   16:39 409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nama Setya Novanto, Menkumham Yasonna Laoly dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo disebut menerima uang dalam kasus mega korupsi e-KTP. Ketiga nama besar ini disebut dalam surat dakwaan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum, Andi Agustinus dalam sidang yang digelar di Pengadilan Tipikor hari ini.

Menanggapi hal ini, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menilai bahwa dakwaan yang dibacakan oleh Penuntut Umum KPK berhasil menunjukkan gambaran besar penyalahgunaan proyek ini dan KPK wajib membungkar sampai tuntas.

"Patut diduga bahwa korupsi dalam kasus ini dilakukan secara sistemik dan masif. Oleh karena itu, KPK tidak boleh berhenti hanya pada Irman dan Sugiharto (terdakwa pada kasus E-KTP hingga saat ini)," tulis PSHK dalam keterangan resmi yang diterima Kompasiana.

Selain itu KPK juga dinilai harus mengusut tuntas, membongkar serta menjerat semua pihak yang terlibat sampai ke akarnya. Maka dari itu, mekanisme perlindungan pada saksi kunci, whistleblower dan justice collaborator harus dilakukan secara optimal.

"Tindakan beberapa pihak mengembalikan uang kepada KPK tidak dapat dijadikan sebagai obat penghilang kesalahan dan penghalang bagi KPK dalam mengusut tuntas kasus ini," lanjut PSHK.

Ketua DPR, Setya Novanto yang namanya disebut dalam dakwaan pun beberapa waktu lalu sempat berkomentar. Ia berharap sidang kasus dugaan korupsi proyek E-KTP ini tidak menimbulkan kegaduhan politik.

"Yang penting jangan terjadi kegaduhan politik. Karena ada beberapa nama yang disebut termasuk saya sendiri. Tapi saya sudah sampaikan ke media saya tidak pernah terima apapun dana e-KTP," kata Novanto, di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu malam, sebagaimana diberitakan Kompas.com.

Ia juga mempercayakan penanganan kasus ini ke pengadilan dan siap hadir apabila dimintai keterangan di persidangan. Selain itu Ketua KPK, Agus Rahardjo pun sebelumnya berharap tidak terjadi guncangan politik akibat kasus korupsi ini. Pasalnya dugaan kasus ini mengurucut pada beberapa nama besar.

Berikut ini adalah keterangan resmi secara lengkap dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) yang diterima tim Kompasiana:

Pernyataan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Terkait Pengungkapan Kasus E-KTP

"KPK Harus Membongkar Kasus Mega Korupsi E-KTP Setuntas-tuntasnya"

Dakwaan yang dibacakan oleh Penuntut Umum KPK hari ini berhasil menunjukkan gambaran besar penyalahgunaan dalam proyek E-KTP.

Nama-nama yang turut disebutkan semakin memperkuat kesan bahwa kasus ini tidak mungkin melibatkan satu-dua orang saja. Patut diduga bahwa korupsi dalam kasus ini dilakukan secara sistemik dan masif.

Oleh karena itu, KPK tidak boleh berhenti hanya pada Irman dan Sugiharto (terdakwa pada kasus E-KTP hingga saat ini).

KPK harus mengusut tuntas kasus ini dengan menjerat semua aktor dan jaringan yang terlibat hingga membongkar modus yang dilakukan dalam mega korupsi ini setuntas-tuntasnya.

Pengembalian kerugian negara sama sekali tidak menghilangkan kesalahan dan pertanggungjawaban pidana dari aktor yang terlibat. Tindakan beberapa pihak mengembalikan uang kepada KPK tidak dapat dijadikan sebagai obat penghilang kesalahan dan penghalang bagi KPK dalam mengusut tuntas kasus ini.

KPK tetap harus membongkar kasus ini dan menjerat semua pihak yang terlibat setuntas-tuntasnya ada atau tanpa tindakan pengembalian kerugian negara.

Pengungkapan kasus ini sangat bergantung salah satunya pada keberadaan saksi. Untuk itu, mekanisme proteksi terhadap saksi-saksi kunci, whistleblower, maupun justice collaborator dalam kasus ini harus dilakukan secara optimal.

Dengan demikian, kerjasama KPK dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menjadi penting.

Dengan karakteristik kasus yang demikian besar, potensi pelemahan terhadap KPK juga akan terbuka lebar. Seperti saat ini, dimana sulit untuk tidak mengaitkan sosialisasi revisi RUU KPK dengan proses pengungkapan kasus E-KTP ini.

Upaya untuk merevisi UU KPK tidak akan menjadi kenyataan apabila tidak disepakati oleh Presiden dan DPR. Oleh karena itu, sepanjang Presiden tidak memberi persetujuan untuk melakukan pembahasan, UU KPK tidak akan direvisi.

Fokus harus tetap dipusatkan pada pengungkapan kasus E-KTP yang dapat diduga sebagai mega korupsi yang terstruktur dan masif.

Upaya memecah konsentrasi dan perlawanan balik berupa pelemahan terhadap KPK harus dilawan.

Publik pastinya berharap kasus E-KTP ini dapat dibongkar dengan terang-benderang. Sekaligus dengan jaminan dukungan terhadap KPK dari semua upaya pelemahan dan serangan balik.

(LUK/yud)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun