Memperjuangkan Kemandirian Peradilan : Spirit Utama Mahkamah Konstitusi
Kemandirian peradilan adalah konsep bahwa peradilan harus independen dari cabang-cabang pemerintahan lainnya . Artinya, pengadilan tidak boleh tunduk pada pengaruh yang tidak patut dari cabang pemerintahan lain atau dari kepentingan pribadi atau partisan. Independensi yudisial penting bagi gagasan pemisahan kekuasaan. Â
Di beberapa negara, kemampuan lembaga yudikatif untuk memeriksa lembaga legislatif ditingkatkan dengan kekuatan peninjauan kembali. Kekuasaan ini dapat digunakan, misalnya dengan mengamanatkan tindakan tertentu ketika badan peradilan menganggap bahwa cabang pemerintahan menolak untuk melakukan tugas konstitusional atau dengan menyatakan undang-undang yang disahkan oleh badan legislatif sebagai inkonstitusional.
Penegakan aturan dan prinsip independensi peradilan tersebut, dapat ditegakkan jika internal MK khususnya pimpinan memiliki komitmen untuk bersikap tegas dan patuh atas mekanisme yang ditetapkan ketentuan perundang-undangan serta bersikap objektif untuk menghindari dan melawan setiap potensi konflik kepentingan yang merusak citra kelembagaan.
Demokrasi Indonesia yang akan ditata ialah demokrasi yang dibingkai dengan norma-norma kostitusi yang terdapat daalm UUD 1945. Demokrasi Indonesia tidak identik dengan vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan) dan juga demokrasi Indonesia tidak sinonim dengan suara mayoritas adalah suatu kebenaran. Ukuran kebenaran dalam demokrasi Indonesia adalah norma hukum konstitusi. Oleh karena itu agar derap demokrasi dapat berupa sesuai sumbu kostitusi, maka demokrasi itu harus dijaga. Di sinilah posisi Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai penjaga konstitusi harus senantiasa menjaga demokrasi sebagai pelaksana dari norma kostitusi.
Â
KesimpulanÂ
Integritas hakim harus termanivestasi dalam sikap dan karakter yang 'otentik' (original, terpercaya, netral dan tidak korup). Hal ini akan menjadi "nadi" kehidupan harapan dan kepercayaan publik bagi suatu pengadilan. Originalitas mahkamah konstutsi harus terwujud dan dipertegas dalam tugasnya sebagai penegak hukum dan keadilan dalam rangka menjaga kepercayaan. Karakter netral dan tidak korup dalam menjalankan tugas menjadi kualitas yang harus terus dijaga pula sebagai wujud negarawan.Â
Label negarawan yang melekat pada hakim konstitusi sesuai Pasal 24C ayat (5) UUD 1945, berkonsekuensi pada nilai integritasnya tidak perlu diragukan lagi (unquestionably integrity) sebab syarat utama seorang negarawan seperti yang dikemukakan Eisenhower, yaitu integritas dan tujuan mulia dari ajaran dan tindakannya.Â
Sebagaimana yang dikemukakan pemikir politik Inggris Edmund Burke, negarawan memiliki kapasitas untuk berpikir jangka panjang dan bekerja pada prinsip-prinsip yang telah ditetapkan, sementara sikap politisi adalah sebaliknya. Perlu untuk menjaga etika politik (political ethic) yang bersandar pada konstitusi dengan menjadikan UUD 1945 sebagai "living constitution", yaitu nilai konstitusi yang senantiasa dianggap hidup dalam penyelenggaraan negara. Berkaitan dengan itu faktor politik menjadi penentu dalam penegakan kaidah-kaidah konstitusi. Sebab, sistem politik yang sehat dilandasi oleh tingginya tingkat kepatuhan pada etika politik akan sangat menentukan keberhasilan implementasi kaidah-kaidah ketatanegaraan.