Dienara diam saja. Dia ambil sepotong pisang goreng tanpa mempersilakan aku mengambilnya. Kakaknya menyodorkan pring kepadaku.Â
"Yok, sambilan..."
"Widya, tahu apa kamu tentang , Tanti?" Dienara tiba-tiba mengulang kembali kalimat yang minggu lalu aku dengar, sesudah menyeruput teh manis buatan kakaknya. Â Tentu saja aku tak menyangka mendapat pertanyaan itu lagi.Â
Aku sampaikan semua perkataan Tanti sebelum aku harusnya ketemu Dienara. Dia hanya tersenyum mendengar ceritaku.Â
"Tanti itu pacar sepupu kami. Sepupu yang baik dan sabar pada Tanti." Mbak Sita memulai cerita untukku.Â
"Tanpa alasan prinsip dia memutuskan hubungan dengan Andre sepupu kami itu," imbuh Dienara.Â
"Padahal kami sudah ingatkan Andre, tapi namanya cinta, Andre tetap jalan sama Tanti," kali ini dilanjutkan Mbak Sita.Â
"Dan Widya, terbuktilah bahwa alasan yang tidak prinsip itu ternyata sebagai kedok saja untuk Tanti jalan dengan lelaki lain. Kami sekeluarga kecewa, marah dan tak suka.Â
"Lalu apa hubungannya dengan aku,ya,Mbak? Mengapa dia melarangku menemui Mas Dienara waktu itu?" Ingatanku menerawang.
"Karena dia tidak rela melihat dirimu akan kubahagiakan, Widya," Dienara bangkit dari kursinya menujuku. Dia mengambil mawar kuning itu, dia genggamkan pada kedua tanganku, kehangatan menjalari pipiku, mataku, wajahku...
"Selamat Ulang Tahun, Widya Apsari," Dia tersenyum hangat sekali. Aku terharu.