Mohon tunggu...
LuhPutu Udayati
LuhPutu Udayati Mohon Tunggu... Guru - ora et labora

Semua ada waktunya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mata Hati

19 Desember 2018   22:57 Diperbarui: 19 Desember 2018   23:04 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi : pixabay.com

"Ada yang sengaja tak kusampaikan kepadamu, 

karena aku tahu kamu tak akan pernah jujur merasakan , 

apalagi membalasnya..." 

Kata-kata itu seperti sengatan lebah, karena meninggalkan panas sekaligus perih. Bagaimana mungkin aku mampu menghilangkan perasaan yang kian lama kian membuncah, walaupun kutahu adalah sebuah kesalahan mencintaimu, tepatnya menyayangimu. 

Sofia menuliskan imajinya pada blog pribadi berupa cerpen. Dan aku, salah satu yang mengagumi setiap tulisannya. Tetapi,saat ini, seperti Dejavu membaca tulisan Sofia. Padahal, baru prolog. Akh! 

"Mungkin benar, aku tak bisa membalas dengan terang-terangan." Dinda  membiarkan perasaannya terbaca oleh Galih. Baginya lebih baik seperti itu, agar jelas semuanya akan berakhir pada  batasan mana.  

"Jadi, perasaan sayangmu selama ini, hanya sebuah pelarian dari rasa sepimu, Dinda?" Galih menghakimi kekasihnya.

"Apa masih perlu kujelaskan sementara dirimu tak pernah berjuang untuk cinta kita?!" marah sekali Dinda menerima penghakiman itu.

Hampir enam bulan dia dan Galih membiarkan hati mereka terpaut pada cinta yang tidak seharusnya. Tapi, Dinda tak pernah mampu menghilangkan, walaupun ingin...

"Kecewa dan menyesal aku," lirih sekali Dinda mengalirkan kejujuran hatinya.

"Kecewa dan menyesal karena telah membiarkan perasaanku tumbuh semakin indah dengan kelopak  kasih sayang yang tak pernah mampu kupatahkan, sementara akarnya tak pernah kutahu berpijak di mana, " Dinda akhirnya menangis. 

Ingin ditumpahkannya tangisan itu pada dada lelaki yang selama ini selalu menyayangi dan memberinya perlindungan atas nama cinta.

Sementara pada sisi yang berseberangan, Galih berusaha untuk tidak membiarkan dirinya beranjak memeluk kekasihnya itu. Walaupun ingin... 

Keegoisannya terhadap perempuan itu, sedang berusaha menekan semua keadaan.

"Kita sudahi semuanya sampai di sini saja," Dinda gamang sekali mengakhiri.

 Entah kekuatan apa yang membuatnya mampu berkata-kata seperti itu.

Dan Galih?

"Maafkan aku, Dinda. Aku harus kembali kepada keluargaku. Aku harus kembali pada rumah cintaku yang sesungguhnya. Ampuni, aku..."

Plak...

Seperti ada yang menampar hati terdalamku. 

Ini kata-kata yang seperti pernah kukatakan padanya hampir dua tahun lalu.  Hampir seluruhnya, juga suasana kedua tokoh imajiner yang dihadirkan Sofia. Dejavu? Akh!

Tak kulanjutkan membaca cerpen Sofia. Aku penasaran pada sosok penulisnya. Mungkinkah, penulisnya adalah dia?

Seperti berlari dalam lomba marathon, kusisir satu persatu cerpen yang ditulis oleh penulis yang kerap mencuri perhatianku. Mengapa baru sekarang kusadari, jika kisah-kisah yang ditampilkan seperti memantulkan jiwa dari cermin kehidupan milik penulis?

Nama penulis sekaligus pemilik blog cukup manis walaupun tanpa foto, apalagi tambahan identitas lainnya.

Kubaca berulangkali ; Sofia Cahyahanyndita

Hanin, kah? Perempuan yang hati pualamnya sudah retak oleh keegoisanku?

Tapi nama dia ; Haninditha Cahya Sophia

Mata hatiku mengiyakan. 

Nyatanya, sepenggal kenangan menegurku;  itu Dejavu



 



Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun