Pagi masih tersamar ketika kubuka pintu ruang tamu untuk mematikan lampu halaman, membuka pintu pagar , lalu menyapu halaman yang hanya selebar tiga langkah kakiku.Â
Pagi, bagiku, adalah cinta pertama.Â
Kudapatkan kebahagiaan dalam setiap kelembutan oksigen yang tertitik jatuh dari langit dini hari dan memenuhi aliran nafasku.Â
Kupandangi langit. Â Bersih. Biru dengan binar cahaya kekuningan yang mulai memancar kuat dari ufuk timur.
"Terima Kasih, semesta," bisikku penuh syukur. Krek..krek...krek...perjalanan sapu lidiku adalah juga suara yang selalu ingin kunikmati sampai selama-lamanya, membersihkan halaman dari daun-daun kering yang jatuh semalam.Â
Brakkk!!! dentuman keras sungguh mengagetkanku. Refleks kuberlari ke dalam rumah.Â
O, tidak!
"Dinda, sakit,Din..." Sammy merintih memegangi lututnya, sementara satu lengannya berusaha dilingkarkan pada leherku.
Tubuhnya lumayan berat, tapi sekuat tenaga kuseret dia hingga mencapai bibir tempat tidur kami.
Kubaringkan dirinya dengan lembut.
"Aku sudah bilang, panggil aku kalau mau ke luar," nadaku agak keras kali ini. Selalu saja dia merasa bisa melakukannya, padahal  kecelakaan itu hampir membuatnya lumpuh, dan aku rela merawatnya sampai dia pulih.