Akhirnya kami tidak berjodoh, karena dia menikah muda dengan  teman seperjuangannya di deretan pedagang souvenir. Mereka menata hidup secara perlahan dan semakin membaik, hingga Priema berkuliah di fakultas hukum dan berhasil mewujudkan cita-citanya sebagai pengacara terkenal di kota ini. Dan aku? Tetap sendiri setelah perceraian yang menyakitkan dengan suami yang dijodohkan ayahku. Hidup terlalu rumit untuk sekadar membahagiakan diri sendiri.Â
Dan, sore itu juga aku balik kembali ke kotaku. Tak ada yang pantas lagi diperjuangkan di kota kecil itu. Semuanya sudah jelas adanya.
Dua jam perjalanan membuatku merasa lelah lahir batin. Sesampai di rumah, Wiji yang terlalu setia mengurus dan menemaniku sejak kecil menyerahkah buket mawar yang katanya terkirim siang tadi, saat aku baru saja berangkat ke kota tempat Priema tinggal.Â
"Kiriman bunga dari siapa,mbak Wiji?"
"Entahlah. Tanpa pengirim. "
Hmm..bunga mawar yang indah. Aku menyukai mawar dengan segenap misteri yang ada di kisah harum dan cantik kelopaknya. Ada sepucuk amplop mungil di dalamnya. Â Kuraih dan kubaca.
   Nin, kalau kamu mengijinkan aku menikahi perempuan yang membuatmu cemburu dan kita bertengkar hampir sebulan lalu,
  aku akan menikahinya. Tapi kalau kamu tidak mengijinkan, aku akan menikahimu. Aku sayang kamu. Priemawangsa.
O My God, melayang rasanya. Begini caranya dia menyatakan cintanya padaku.Â
Thanks Tuhan, gumamku tersenyum. Kuciumi lembut kiriman mawar bersama ungkapan cintanya. Kupejamkan mata sambil tersenyum mengingat betapa kerdilnya hatiku tadi sore, pergi meninggalkannya tanpa memberinya kesempatan buat menjelaskan semuanya.
Handphone-ku berdering. Priema menelponku. Tiba-tiba aku bergetar menahan rasa bahagia,Â