Mohon tunggu...
Kompasiana
Kompasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Akun Resmi

Akun resmi untuk informasi, pengumuman, dan segala hal terkait Kompasiana. Email: kompasiana@kompasiana.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Semua Bisa Belajar, Pendidikan Bukan Privilege

21 Agustus 2024   16:05 Diperbarui: 22 Agustus 2024   07:41 814
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan seharusnya menjadi jalan individu menuju kesempatan yang setara. Pentingnya pendidikan berkualitas tidak dapat disangkal---ia adalah motor penggerak perubahan untuk meningkatkan kualitas hidup dan memberdayakan individu. 

Namun, di tengah harapan ini, pendidikan masih menjadi arena ketidaksetaraan dan masalah struktural. Sejumlah tantangan dan kesenjangan menghalangi terwujudnya pendidikan berkualitas, menciptakan jurang pemisah antara mereka yang mampu dan yang miskin. Kesenjangan ini tidak hanya menghambat potensi individu, tetapi juga merusak cita-cita pendidikan inklusif.

Di sisi lain, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim menjamin kesejahteraan pendidikan akan terus dibenahi dalam gerakan Merdeka Belajar. Meski ia mengakui, perubahan menyeluruh itu membutuhkan waktu yang tidak sebentar. 

Lima tahun bukan waktu yang sebentar untuk menjalankan tugas memimpin gerakan Merdeka Belajar-- Nadiem Anwar Makarim saat berpidato pada upacara peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2024 , Kamis (2/5/2024) , di Jakarta, dikutip dari Kompas.id .

Lalu, apa saja tantangan pendidikan yang harus kita kawal bersama?

Mahal dan Sulitnya Akses Pendidikan

Pendidikan yang berkualitas adalah hak asasi semua orang. Namun, kenyataan berkata lain. Meski pemerintah Indonesia, melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005, mengupayakan pendidikan gratis untuk setiap pencapaiannya, kenyataan di lapangan masih jauh dari ideal.

Menurut Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji--seperti dilansir Kompas.id , terbatasnya jumlah sekolah negeri memaksa anak-anak dari keluarga tidak mampu menempuh pendidikan di sekolah swasta, yang berarti mereka harus mengeluarkan biaya. Bahkan di sekolah negeri, pungutan liar masih sering terjadi karena minimnya biaya operasional untuk mendukung kegiatan pendidikan yang berkualitas.

Sejauh ini, Wakil Ketua Komisi E DPRD DKI Jakarta Jhonny Simanjuntak mengungkap sudah ada lebih dari 2.000 sekolah swasta yang mendaftar dalam program sekolah gratis. Mengutip Tribunnews , program ini akan dijalankan Pemprov DKI Jakarta per tahun 2025.

Kesenjangan Pendidikan: Ketimpangan yang Memprihatinkan

Kesenjangan pendidikan di Indonesia terlihat kentara ketika menyoroti wilayah-wilayah luar Jawa, seperti Papua. Data dari penelitian Universitas Papua yang dipublikasikan di Kompas.id menunjukkan, anak-anak putus sekolah di empat provinsi baru di wilayah Papua mencapai 314.606 jiwa. Minimnya sarana prasarana, kurangnya jumlah guru, dan ketiadaan dukungan fasilitas seperti buku cerita, bahan terbuka kontekstual, serta tempat mengajar yang layak, menjadi faktor utama penyebab terputusnya pendidikan.

Guru-guru di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar atau 3T menekankan soal masalah infrastruktur dalam mendukung kegiatan belajar mengajar. Di pedalaman Papua, misalnya, banyak anak-anak yang belum sempat mengenyam pendidikan--ditambah sederet sekolah yang masih belum aktif berkegiatan. Menghimpun Kompas.id , perkampungan yang belum terjangkau listrik dan internet masih jamak ditemui, termasuk sulitnya akses jalan menuju ke sekolah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun