Seberapa sukanya Kompasianer dengan buah alpukat? Biasanya dimakan langsung dalam bentuk buah atau sudah diolah?
Tetapi suka saja tampaknya tidak cukup, ada satu hal yang penting lainnya: bisakah Kompasianer memilih buah alpukat ketika membelinya? Ada ciri-ciri khusus apa yang Kompasianer lihat ketika membelinya?
Kadang kita hanya melihat tampilan luarnya saja, sehingga karena bagus dan mulus itu sudah pasti isinya enak. Ternyata saat alpukat itu dibawa pulang dan dicoba, malah terasa pahit, bergetah atau berlendir, hingga dagingnya keras.
Malah belakangan ramai diperbincangkan di media sosial X (Twitter) tentang bagaimana alpukat lokal Indonesia masih jauh kualitasnya dibanging alpukat Thailand.
Perbincangan itu meluas dari bagaimana cara menanam sendiri alpukat hingga sistem, perilaku, dan mindset petani alpukat.
Intinya, alpukat lokal sering kali dipanen tidak tepat waktu atau tidak sesuai kriteria panen.
Apakah Kompasianer punya pengalaman terkait memilih maupun mungkin sudah terjun langsung jadi petani alpukat? Masalah apa yang biasanya dihadapi ketika menjalaninya?
Adakah yang sudah mengembangkan varietas baru dari alpukat? Apa namanya? Perbedaan apa yang kentara dari alpukat lokal lainnya dari verietas yang sudah dikembangkan itu?
Atau, justru ada yang mengonsumsi alpukat karena khasiatnya? Apa saja yang dirasakah setelah rutin mengonsumi itu?
Silakan tambah label Buah Alpukat (menggunakan spasi) pada tiap konten yang dibuat.