Kompasianer, kini banyak bermunculan kota mandiri yang dikembangkan oleh pihak swasta. BSD, Kota Baru Parahyangan, Grand Wisata, Harapan Indah, Sentul City, Summarecon Emerald Karawang, BSB City Semarang, dan masih banyak lagi.
Konsep Kota Mandiri dikembangkan sebagai solusi untuk mengurangi beban kota besar. Biasanya, kota mandiri dapat terealisasi dengan kerja sama antara pemerintah dan pengembang swasta.
Dengan tinggal di kota mandiri, warga tak perlu lagi bergantung ke kota besar. Fasilitas sudah lengkap, kantor administrasi dan pemerintahan ada, hiburan banyak, pusat perbelanjaan tersedia. Tak perlu lagi pergi ke kota besar untuk mendapatkan itu semua.
Apakah Kompasianer juga tinggal di kota mandiri? Bagaimana pengalaman tinggal di situ? Apakah kota tersebut sudah mencukupi kebutuhan Kompasianer?
Meski demikian, keberadaan kota mandiri belum tentu menyelesaikan masalah antara kota besar dengan kota satelitnya. Kadang malah membuat masalah baru.
Angka penglaju tetap tinggi ke kota besar. Rupanya kota mandiri belum menampung lapangan kerja yang cukup.
Selain itu, tak semua orang bisa tinggal di kota mandiri. Dibangun oleh pihak swasta, hunian di kota mandiri dibanderol dengan harga tinggi. Lengkap dengan iming-iming kemudahan akses, fasilitas lengkap, hingga tata kota yang estetis.
Belum lagi fenomena kesenjangan sosial dan perbedaan budaya antara penduduk asli dengan pendatang yang pindah ke kota mendiri. Ada pula masalah eksklusivitas, banjir, dan lain sebagainya.
Kompasianer, bagaimana tanggapanmu mengenai fenomena kemunculan kota mandiri di Indonesia? Apa saja kota mandiri yang ada di sekitarmu? Apa keunggulannya? Apa masalah yang muncul?
Sampaikan cerita, opini dan ulasanmu di Kompasiana. Tambahkan label Kota Mandiri pada setiap konten yang kamu buat.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya