Bagaimana Kompasianer melihat kasus kematian empat anak yang diduga dibunuh ayahnya?
Atau kasus seorang dokter yang kabur karena tidak kuat terhadap KDRT suami, tetapi berakhir dengan memaafkan dan mencabut laporan? Juga kasus anak membunuh ayah di Bangka, serta ibu yang melakukan percobaan pembunuhan pada anaknya, di Brebes, Jawa Tengah.
Kompasianer, siapapun bisa melakukan KDRT. Istri ke suami, suami ke istri. Orangtua ke anak, dan anak ke orangtua. Pertanyaannya, apa sebabnya? Dan bagaimana cara mengatasinya secara tepat? Apakah RT setempat membagikan prosedur pelaporan KDRT?
Menurut Kompasianer, apakah pelaku kekerasan domestik layak untuk dimaafkan? Apakah pelaku pantas mendapatkan kesempatan kedua? Bagaimana jika aksi tersebut berakhir pada perenggutan nyawa dan mengganggu kesehatan jiwa?
Akar masalah KDRT bisa sangat kompleks. Mulai dari permasalahan ekonomi, miskomunikasi, perilaku abusive, dan lainnya. Aksi KDRT juga tak selalu bersifat fisik, tetapi juga kekerasan verbal, psikis, emosional, seksual, dan penelantaran.
Akan tetapi, yang namanya rumah tangga tentu tak terlepas dari masalah dan reaksi-reaksi emosional kan? Lalu menurut Kompasianer, bagaimana batasannya? Langkah apa yang perlu diambil untuk mengatasi konflik? Pola komunikasi apa yang perlu diaplikan ke keluarga?
Bagaimana cara mengenali sinyal-sinyal tindakan KDRT? Bagaimana cara menjembatani problem KDRT di wilayah tempat tinggal supaya tak dianggap mencampuri rumah tangga orang? Adakah SOP yang bisa dibagikan, misal: nomor telepon lembaga yang membantu korban KDRT, lokasi dokter yang menerima pembuatan visum, dan lain sebagainya?
Silakan tambah label Penanganan KDRT (menggunakan spasi) pada tiap konten yang dibuat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H