Apakah setuju jika skripsi tidak diwajibkan sebagai syarat kelulusan mahasiswa? Jika, ya, menurut Kompasianer apa format pengganti yang tepat bagi mahasiswa agar bisa lulus?
Atau, jika tidak setuju, apakah sudah cukup bagi mahasiswa vokasi, misalnya, menunjukan kompetensinya dengan karya ilmiah?
Baru saja Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim tidak lagi mewajibkan skripsi sebagai syarat wajib lulus bagi S1 dan D4.
Keputusan tersebut dituangkan dalam Peranturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) No. 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
Dalam Permen itu, Nadiem menyebutkan kelulusan diserahkan kepada setiap kepala program studi (kaprodi) pendidikan di perguruan tinggi tersebut.
Oleh karena itu, menurut Nadiem, untuk mengukur kompetensi seseorang tidak hanya dengan satu cara.
Aturan tersebut tertuang dalam Permen pada Pasal 18: Penerapan kurikulum berbasis proyek atau bentuk pembelajaran lainnya yang sejenis dan asesmen yang dapat menunjukkan ketercapaian kompetensi lulusan.
Bagaimana tanggapan Kompasianer mengenai Permen yang baru saja dikeluarkan Mas Menteri? Apakah itu bisa dianggap "memudahkan" mahasiswa lulus atau justru sebaliknya?
Bahkan, apakah dengan tidak diwajibkannya membuat skripsi sebagai syarat kelulusan akan menghilangkan romantisasi ketika mengerjakan tugas akhir?
Silakan tambah label Skripsi Tidak Wajib (menggunakan spasi) pada tiap konten yang dibuat.
