Bagaimana tanggapan Kompasianer mengenai joki ilmiah? Mengapa "jasa" ini bisa ada --bahkan berkembang-- di kalangan para akademisi?
Merujuk pada investigasi "Harian Kompas", ketatnya syarat pengajuan guru besar menjadi salah satu prakondisi yang mendorong suburnya industri joki ilmiah di kalangan pelaku akademis.
Tak hanya dituntut mengumpulkan kredit, jalan panjang menuju guru besar juga perlu disertai dengan penayangan jurnal ilmiah yang kredibel, baik di level nasional maupun internasional.
Bukan hanya di kalangan dosen, jasa joki juga jamak terjadi pada level akar rumput, seperti pembuatan tugas sekolah hingga skripsi.
Naasnya, bisnis perjokian di dunia akademik Indonesia dijalankan dengan kedok bimbingan belajar hingga jasa pengetikan.
Kompasianer, apakah kamu perah menjumpai praktik ini? Baik dari sisi pengguna jasa maupun penawar jasa? Apa yang sesungguhnya menjadi pertimbangan di balik praktik ini?
Jika Kompasianer adalah guru dan siswa, bagaimana menurut Kompasianer cara menanggulangi praktik ini? Apa dampak yang akan terjadi bila praktik joki ilmiah ini terus terjadi?
Silakan tambah label Joki Ilmiah (menggunakan spasi) pada tiap konten yang dibuat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H