Apakah menurutmu, "bahasa ngeblog" bisa menjadi ancaman rusaknya Bahasa Indonesia?
Pasti kamu sering membaca artikel Kompasianer yang tidak mencerminkan keindonesiaan dari sisi bahasa. Sangat tidak rapi. Tidak sesuai kaidah dan jauh dari ideal. "Ini sih bahasa lisan yang ditulis" dan sebagainya. Kita seperti membaca halaman yang berantakan. Warna-warni, tidak ada keseragaman.
Pada platform blog, Kompasiana contohnya, setiap individu unik. Setiap bloger memiliki latar belakang berbeda dan berangkat dari pemahaman bahasa yang beragam. Maka dari itu, penggunaan bahasa slang yang sifatnya musiman atau bahasa lisan kedaerahan yang lantas dituliskan, terbilang lumrah. Asal digunakan pada situasi yang tepat dan dapat merepresentasikan makna.
Pada akhirnya, bisa jadi "bahasa ngeblog" adalah wujud solidaritas untuk bertahan di tengah perkembangan zaman yang demikian cepat. Publik perlu waktu untuk bertransisi menerjemahkan alam pikirnya sendiri melalui tulisan.
Lambat laun, tutur bahasanya menjadi lebih teratur, mempertimbangkan struktur, dan mudah dipahami. Atau sebaliknya: tetap nge-slang, tetapi membentuk karakter tersendiri yang khas. Kita menyebutnya sebagai identitas gaya bahasa.
Bagi Kompasiana, ngeblog adalah proses. Karena bahasa itu sendiri juga terus memperbarui, berevolusi.
Bagaimana tanggapan Kompasianer atas penggunaan bahasa yang digunakan ketika ngeblog? Apakah kamu punya pengalaman berproses berbahasa Indonesia saat menulis? Sampaikan pengalaman/opini dengan menambahkan label Bahasa Ngeblog (menggunakan spasi) pada tiap konten yang dibuat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H