Bicara soal film, aktris senior Christine Hakim memang layak dijadikan ikon perfilman Indonesia. Perempuan kelahiran Jambi telah lebih dari empat dekade malang-melintang di dunia perfilman Indonesia. Puluhan judul film telah ia bintangi, sebut saja Cinta Pertama (1973) yang berhasil mengantarkannya mendapat Piala Citra FFI 1974 sebagai pemeran utama wanita dengan pujian, Kawin Lari (1975),  Badai Pasti Berlalu (1976), Kerikil-Kerikil Tajam (1984), Pasir Berbisik (2001) yang berhasil diputar di  Festival Film Cannes. Film teranyar yang ia bintangi adalah Kartini (2017).
Puluhan judul film dan berbagai penghargaan yang ia terima mengantarkannya sebagai salah satu juri dalam festival film paling bergengsi di dunia yaitu Festival Film Cannes pada 2014 silam. Tak hanya itu, Ia juga berhasil membawa nama Indonesia harum di dunia dengan membintangi film Hollywood Eat Pray Love (2010) bersama Julia Roberts. Seluruh pencapaian Christine memang sepadan dengan totalitas dan kualitasnya dalam beradu akting. Maka itu tak heran banyak aktor dan aktris yang lebih muda menjadikannya role model dalam dunia perfilman.
Di awal tahun 2017, dunia perfilman Indonesia diramaikan oleh diangkatnya, sosok Wiji Thukul, penyair dan aktivis yang sampai saat ini tak diketahui keberadaannya, ke layar lebar dengan judul Istirahatlah Kata-kata. Ramainya perbincangan mengenai film tersebut bukan tanpa alasan. Banyak penggemar karya Wiji Thukul yang menaruh ekspektasi besar terhadap film ini dan juga latar belakang sejarah perjuangan Wiji Thukul pada Mei 1998 silam.
Kesuksesan film Istirahatlah Kata-kata adalah berkat kepiawaian Yosep Anggi Noen dalam menerjemahkan sosok Wiji Thukul ke dalam gambar hidup. Meskipun muda, Anggi, sapaan akrabnya, dianggap sebagai sutradara yang cukup menjanjikan. Beberapa judul film pendek maupun panjang karyanya adalah Love Story Not (2015), Rumah (2015), A Lady Caddy Who Never Saw a Holein One (2013), Vakansi yang Janggal dan Penyakit Lainnya (2012), Working Girls (2011), dan Hujan Tak Jadi Datang (2009).
Film-film Anggi memang bukan ditujukan untuk selera masyarakat pada umumnya. Ia memilih menciptakan film dengan gagasan baru dan unik. Itulah sebabnya karya-karyanya lebih banyak berangkat dari festival film.
Ketika Christine dan Anggi Bertemu dalam Satu Panggung
Keduanya memiliki pengalaman serupa namun tak sama dalam menggarap sebuah film untuk khalayak umum. Christine Hakim memang lebih banyak bermain di film komersil, sedangkan Anggi banyak bermain di film Indie.
Meski banyak sekolah dan workshopfilm di Indonesia, harus diakui bahwa untuk membuat sebuah film dibutuhkan modal nekat karena ongkos yang dikeluarkan cukup banyak dan daya saing film Indonesia dengan film luar tidak begitu kuat. Gejala yang terjadi belakangan ini adalah, film sineas dalam negeri perlu menang festival mancanegara dahulu untuk bisa mendapat jatah kursi. Mengapa? Apa bedanya dengan risiko yang ditemui dalam industri film terdahulu?
Christine Hakim dan Yosep Anggi Noen akan bertukar pikiran mengenai industri perfilman Indonesia di Sharing Session Film Kompasianival 2017, Sabtu 21 Oktober 2017 di Lippo Mall Kemang. Bagi kamu yang kemarin sudah ikut pre event competition, nantikan pengumuman pemenangnya pada sesi ini!
Daftarkan segera diri kamu melalui kompasianival.com, 2.000 pendaftar online pertama berkesempatan mendapatkan merchandise eksklusif card wallet Kompasiana.
Yuk malem mingguan dan kongkow bareng di Kompasianival 2017! (DIN)