Tidak hanya itu, orang nomor satu di Kepolisian Republik Indonesia, Jenderal Pol Tito Karnavian juga menganggap sejumlah nama pemain lama kasus terorisme kembali meneror masyarakat dengan aksinya. Dan hal ini tidak lepas dari belum efektifnya program deradikalisasi.
Pada kejadian bom Samarinda lalu, pelaku diketahui bernama Juanda yang ternyata merupakan pelaku percobaan pengeboman di Serpong dan bom buku Utan Kayu, Jakarta Timur pada 2011 silam.
"Saya kira tentang program itu perlu dievaluasi," ujar Tito Karnavian, November lalu.
Kendati demikian, dalam hasil jajak pendapat Kompasiana, salah satu Kompasianer menyatakan bahwa program deradikalisasi tidak sepenuhnya gagal. Ia adalah Luhut Simor yang mengatakan bahwa sejatinya hal ini tidak berkaitan dengan gagal atau tidaknya program deradikalisasi. Namun hal ini berkaitan dengan sebuah cara pandang pelaku tersebut.
"Bom di Samarinda bukanlah kegagalan program Deradikalisasi BNPT. Ini adalah Bom yang ke 28 di gereja, akankan berlanjut ke Bom ke 29?" tulis Luhut.
"Jawabannya dari daftar panjang (longlist) saudara kita yang terindikasi terlibat terorisme, segeralah ditanya pimpinan, aliran dan tuntutannya.
Kalau memang karena alasan ekonomi seperti kata ketua Muhammadiyah ada solusi cepat untuk itu tetapi bila keinginannya adalah mengubah haluan negara NKRI, bekerja samalah dengan pimpinan aliran itu bersama tokoh agama, memperbaikinya kalau masih bisa. Pengalaman saya itu sulit karena sudah didoktrin mati.
Bila memang sudah pada kondisi kedua ini Negaralah yang mengambil kesimpulan," lanjutnya.
Pihak BNPT sendiri tidak menyangkal secara langsung bahwa program deradikalisasi memang belum berjalan efektif serta berdampak positif. Direktur Pencegahan BNPT, Brigjen Pol Hamidin menyampaikan bahwa program pemerintah terkait deradikalisasi dinilai berhasil walau baru mencapai 60 persen.
"Kalau dikatakan bahwa program deradikalisasi gagal, sebenarnya tidak. Saya berani mengatakan bahwa 60 persen sudah berhasil," ujar Hamidin dikutip dari Kompas.comÂ
Hamidin juga menyampaikan bahwa menarik kembali teroris untuk mengakui NKRI memang dilakukan tidak mudah, dan perlu pendekatan kekeluargaan selain penegakan hukum yang berlaku di Indonesia.