Mohon tunggu...
Kompasiana
Kompasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Akun Resmi

Akun resmi untuk informasi, pengumuman, dan segala hal terkait Kompasiana. Email: kompasiana@kompasiana.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sudahkah Anda Menjadi Ayah yang Baik Hari Ini?

17 November 2016   16:01 Diperbarui: 18 November 2016   04:22 682
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak orang bilang, ayah adalah cinta pertama bagi seorang anak, terutama bagi anak perempuannya. Seorang ayah menjadi panutan bagi keluarganya. Standar untuk menjadi ayah yang baik tentu tidak ada, tetapi menjadi ayah idaman tentu merupakan hal yang didamba para laki-laki agar kelak mereka bisa menjadi panutan yang sempurna untuk anak-anaknya.

Hari ayah yang diperingati tanggal 12 November kemarin memang gaungannya tidak semeriah seperti hari-hari lain. Namun, untuk beberapa orang, hal ini sangat berarti. Tidak semua anak memiliki sosok ayah ideal dan nyaman bersama ayahnya masing-masing. Namun, setiap ayah-ayah di dunia sesungguhnya tentu mengusahakan hal itu.

Beberapa "tuntutan" seorang anak pada ayahnya disampaikan oleh Kompasianer Saumiman Saud. Menurutnya, pertama seorang ayah harus faithful (taat dan beriman pada Tuhan). Sebagai seorang ayah yang baik, ia harus menempatkan Tuhan di atas segalanya. Kehidupan spiritual yang baik dapat menghantarkan keluarganya ke jalan yang baik pula.

Sebagai contoh, perhatian orang tua pada anak-anaknya saat ini telah terjadi sebuah ketimpangan. Apabila anak-anak mereka malas mengikuti berbagai macam les seperti les piano atau bahasa Inggris, para orang tua akan langsung memberikan hukuman. Namun, jika mereka malas beribadah, orang tua akan membiarkannya begitu saja.

Hal inilah yang menyebabkan seorang ayah sebagai tonggak terkuat sebuah keluarga seharusnya bisa benar-benar taat pada Tuhannya, sebelum ia menerapkan peraturan yang lain pada anak-anaknya. Karena jika mengesampingkan hal terkuat dan tak terlepaskan seperti agama, bisa saja nantinya ikut mengesampingkan hal-hal penting lain.

Hal Kedua yang disampaikan oleh Saud adalah ability. Seorang ayah harus memiliki kekuatan dan kesanggupan untuk mendidik anak dengan kerohanian yang takut akan Tuhannya. Seorang ayah jangan hanya mendalami agama untuk dirinya sendiri, tetapi juga harus mengajarkan dan menularkan pada anak-anaknya. Jika para ayah malas mengajarkan agama pada anaknya, karakter mereka pun akan berbeda.

Ini juga bisa berkaitan dengan cara sang ayah untuk mencari nafkah. Jika mereka menanamkan Tuhan-Nya dengan baik, mencari rezeki halal adalah yang terpenting, tak peduli berapapun nilai uangnya. Asal ingin mencari rezeki halal, semua ada jalannya masing-masing.

Hal ketiga adalah tactical. Seorang ayah harus bijaksana dan mampu memutuskan persoalan hidup anaknya. Jangan hanya selalu bertumpu pada materi. Seorang ayah bukan hanya bekerja mencari uang untuk anak-anaknya, tetapi juga memberikan dirinya untuk anak-anaknya. Kasih sayang yang ia berikan bukan hanya sekadar penampakan dari luar, tetapi ia rela mengorbankan diri untuk anak-anaknya.

Keempat adalah harmony. Seorang ayah jangan menjadi sosok yang ditakuti bagi anak-anaknya. Ayah harus turut berperan serta dalam perkembangan anak-anaknya. Seorang ayah harus bisa dianggap sebagai teman yang bisa diajak serius ataupun bercanda bersama. Kesibukan seorang ayah dalam hal pekerjaan kadang menyita waktu mereka yang seharusnya digunakan untuk anak-anaknya.

Sebagai gantinya, para ayah bisa mengambil cuti agar bisa liburan bersama keluarga. Hal ini merupakan pengganti akan keharmonisan kehidupan berkeluarga ideal yang sempat hilang tersebut.

Kelima adalah emphaty. Seorang ayah harus menaruhkan rasa perhatian yang mendalam pada anak-anaknya. Mereka juga harus turut merasakan apa yang dirasakan oleh anaknya. Namun, perhatian tersebut jangan terlalu berlebihan karena bisa saja nantinya sang anak malah menganggap ayah mereka tidak mempercayainya.

Keadaan seperti ini bahkan bisa membuat sang anak terjerumus ke dalam pergaulan bebas karena merasa terlalu "dikekang" oleh ayahnya. Maka dari itu, sebaiknya para ayah juga turut merasakan dan ikut mendengarkan dengan bijak setiap penjelasan yang diungkapkan oleh anaknya. Jangan langsung menghakimi tanpa alasan yang jelas. Pada zaman seperti sekarang, ayah yang empati memang sangat diperlukan untuk kebaikan sang anak sendiri.

Menjadi ayah yang baik merupakan sebuah proses sekaligus hasil. Proses menjadi ayah, dan hasil akhirnya adalah menjadi ayah. Berbagai langkah dan proses untuk menjadi seorang ayah yang baik menurut Kompasianer Cahyadi Takariawan, pertama adalah kepemimpinan. Hal ini harus jadi yang paling menonjol pada diri sang ayah. Ia harus memimpin anak-anaknya menuju kebaikan. Karena menjadi seorang ayah adalah sebuah amanah yang nantinya akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat.

Setelah itu adalah keteladanan. Seorang pemimpin tidak hanya cukup memerintah dan memberikan arahan, tetapi juga harus memberikan contoh teladan dalam pemikiran, perasaan, perbuatan, dan perkataan. Berikutnya para ayah harus memiliki sikap kehangatan dalam interaksi keseharian. Karena di dalam rumah adalah pusat "kehidupan", jika ayah tidak memiliki kehangatan dalam berkomunikasi, maka suasana rumah akan menjadi "beku" dan tidak terasa akrab. Hal inilah yang akan membuat anak-anak nyaman dan betah di rumah.

Lalu seorang ayah juga harus mempunyai sikap optimistis dalam memandang dan mengarungi kehidupan. Ketika ada sebuah ombak besar datang, jika sang ayah optimistis, maka anak-anaknya akan sukses menghadapi tantangan kehidupan tersebut. Jika sang ayah pesimistis, anak-anaknya akan ikut takut dalam menghadapi berbagai persoalan berat yang datang tersebut. Kemudian seorang ayah juga harus cerdas. Mereka harus pintar dan memiliki semangat menimba ilmu pengetahuan, apapun bentuk ilmu pengetahuan tersebut. Mendidik memerlukan ukuran kecerdasan tertentu, maka hanya ayah cerdas yang bisa sukses membimbing dan mendidik anak-anaknya.

Selanjutnya para ayah harus memiliki kekuatan. Kuat disini bukan berarti hanya dari segi fisik, tetapi juga keimanan, mental, moral, harapan dan cita-cita, dan berkarya. Ayah yang kuat akan membawa anak-anak menuju kondisi yang kuat pula. Ayah yang kuat juga akan menjadi panutan, idola, dan kebanggaan tersendiri pada anak-anaknya.

Kemudian ayah juga harus memiliki sikap kelembutan. Kekuatan yang dimiliki sang ayah harus diseimbangkan dengan sikap lembut dalam mendewasakan anak-anaknya. Ayah yang lembut tidak akan membuat anak-anak tertekan, malah akan merasa bahagia apabila ayahnya berada di sampingnya.

Dari beberapa proses yang telah disampaikan, akun Kompasianer Ordinary Student memiliki pandangan lain mengenai bagaimana menjadi ayah ideal. Menurutnya, setiap orang pasti memiliki pendapat masing-masing mengenai cara menjadi ayah yang baik.

Hal yang paling utama dan yang harus ditekankan bagi seorang ayah adalah di masa kini banyak ayah yang tidak mau peduli, tidak "aware", dan tidak mau "ngeh" mengenai cara bersikap mereka pada anak. Mereka tidak mau tahu bahwa untuk menjadi ayah yang baik, maka perlu pembelajaran, upaya, dan kerja keras untuk mencapainya.

Banyak juga ayah yang tidak menyadari bahwa perannya sebagai ayah akan berdampak besar terhadap perkembangan dan kehidupan sang anak ke depannya. Sikap "aware" dan "mau tahu" inilah yang paling penting serta menjadi kunci dimulainya proses perubahan dan pematangan dalam diri seorang ayah untuk menjadi panutan bagi anak-anaknya.

Menjadi ayah yang ideal merupakan sebuah pembelajaran dan proses tanpa henti yang dipelajari sepanjang hidupnya. Semakin serius para ayah mengusahakan segala proses "menjadi ayah ideal" seperti yang sudah disebutkan tadi, semakin baik pula hasilnya. Memang hasilnya tidak akan pernah menjadi ayah impian semua anak, tetapi paling tidak para ayah sudah mengusahakannya dan selalu berusaha melakukan yang terbaik demi keluarga. (FIA/yud)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun