Mohon tunggu...
Kompasiana
Kompasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Akun Resmi

Akun resmi untuk informasi, pengumuman, dan segala hal terkait Kompasiana. Email: kompasiana@kompasiana.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Banjir di Bandung Bukan Banjir Biasa

27 Oktober 2016   07:21 Diperbarui: 27 Oktober 2016   09:22 2383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banjir merupakan salah satu masalah perkotaan yang sampai saat ini masih sulit untuk diselesaikan. Karena berbagai faktor, beberapa kota di Indonesia telah menjadi langganan banjir, salah satunya adalah Bandung. Beberapa hari yang lalu, kita dikagetkan kembali oleh video banjir di Pasteur, Bandung yang menyita banyak perhatian. 

Menilik kembali banjir Bandung yang terjadi pada bulan Maret lalu, disebutkan bahwa banjir kala itu merupakan yang terparah. Banjir yang melanda Kabupaten Bandung kala itu diakibatkan oleh meluapnya Sungai Citarum.

Bandung saat ini yang sering banjir bukan terjadi tanpa sebab. Kawasan Bandung, terutama bagian utara, perlahan-lahan berubah. Menurut Kompasianer Rinsan Tobing, kawasan utara Bandung yang dulu berupa kawasan yang hijau dan berfungsi sebagai daerah resapan air, berubah menjadi kawasan pemukiman dan bisnis, terutama menjamurnya penginapan dan restoran. Lahan hijau berubah gersang. Untuk tujuan wisata dan permukiman, kawasan Bandung Utara memang memiliki pemandangan yang sangat memukau.

Namun, perubahan ini pasti menghasilkan suatu konsekuensi. Rusaknya kawasan dengan perambahan masif membuat berkurangnya ruang terbuka hijau di kawasan Bandung. Bagian utara Bandung yang seharusnya menjadi daerah resapan air sudah berubah fungsinya. Hal ini mengakibatkan kurangnya air masuk ke tanah dan meningkatnya air permukaan yang meluncur deras ke daerah yang lebih rendah.

Rinsan menuturkan, banjir pada Maret 2016 lalu merupakan bukti bahwa Bandung Selatan mengalami dampak terbesar dari perubahan besar-besaran yang terjadi di kawasan Bandung Utara. Banjir tersebut juga merupakan banjir yang terparah dalam 10 tahun terakhir.

"Dari tahun ke tahun banjir yang terjadi semakin buruk. Disamping luasannya, juga lamanya air tergenang. Kalau banjir-banjir sebelumnya hanya hingga Dayeuhkolot dan Baleendah, banjir terakhir hingga Banjaran dan Arjasari. Kecamatannya bertambah. Di samping diakibatkan kawasan utaranya yang sudah rusak, kerusakan kawasan timur dan barat dicurigai berkontribusi juga terhadap banjir tahun ini." tulis Rinsan.

Ia melanjutkan bahwa pola penanganan yang dilakukan oleh pemerintah kota masih bersifat kuratif. Upaya preventifnya belum muncul sehingga tahun-tahun berikutnya, dikhawatirkan kawasan Selatan menerima banjir yang semakin besar, sementara kawasan Utara akan semakin indah di malam hari. "Utara yang bersolek, Selatannya yang terseok-seok. Utaranya yang berkembang, Selatannya yang tergenang," tambahnya.

Dilihat dari perspektif lain, hal yang menyebabkan Bandung mengalami banjir besar menurut Aksi Cepat Tanggap (ACT) adalah kerusakan lahan terutama di daerah hulu sungai Citarum. Praktik teknologi pertanian dan pengelolaan lahan yang tidak ramah lingkungan banyak terlihat di sekitar kawasan hulu.

Besarnya pertanian kentang yang menyebabkan erosi dapat berakibat terjadinya degradasi lahan dan penurunan kapasitas aliran sungai akibat sedimentasi yang tinggi. Penanaman rumput gajah di kawasan puncak Gunung Wayang juga bukan merupakan pilihan yang tepat untuk menjadi kawasan lindung dengan kemiringan terjal.

Masyarakat di sekitar hulu dengan mudahnya mengabaikan kelestarian alam karena faktor utama untuk memenuhi kebutuhan hidup. Salah satunya yakni mereka mendapat penghidupan yang cukup dan layak dari pemanfaatan rumput gajah sebagai makanan ternak yang murah.

Menurut sang penulis Muhajir Arif Rahmani dari ACT, permasalahan yang dihadapi oleh sungai Citarum harus diselesaikan secara keseluruhan dan tidak hanya bisa dilakukan di lokasi tertentu saja. Maka dari itu, penanganan Citarum membutuhkan perhatian dari semua pihak, dari hulu hingga hilir.

Arif melanjutkan, kecamatan Baleendah di kabupaten Bandung yang pada tahun 70-an sekitar 90 persen wilayahnya adalah daerah persawahan, saat ini dipenuhi dengan bangunan. Dari tahun 80-an sampai saat ini, hampir setengah luas lahan produktif di Baleendah disesaki dengan bangunan, menjadi kawasan ekonomi dan perkantoran. Dengan begini, wilayah resapan air di sekitar Citarum tentu berkurang.

Oleh sebab itulah, kecamatan Bojongsoang, Baleendah, dan Dayeuhkolot menjadi langganan banjir. Karena belum ada perhatian yang cukup dari pemerintah untuk menangani banjir, maka pada Maret lalu jangkauan banjir Bandung menjadi lebih luas. Banjir ini juga berdampak lebih dahsyat sampai merendam 35 ribu rumah di 15 kecamatan di kawasan Bandung Selatan.

Seluruh pernyataan ini terbukti pada banjir ekstrem yang terjadi tanggal 24 Oktober kemarin. Dikutip dari kompas.com, banjir yang terjadi di Jalan Pasteur Bandung itu bahkan sampai menelan korban jiwa. Selain itu, banjir juga tidak hanya menggenangi permukaan jalan. Derasnya luapan air yang tumpah hebat ke jalanan bahkan sampai menyeret beberapa kendaraan.

Salah satu penyebab cepatnya air meluap ke jalan adalah buruknya drainase yang ada di kawasan Pasteur. Kondisi tersebut juga diperparah dengan tingginya laju sedimentasi di daerah itu. Selain itu, terdapat juga keterlambatan dalam pengerukan sedimentasi di saluran air di belakang pusat perbelanjaan Bandung Trade Mall (BTC).

Sebagai upaya untuk penanganan banjir di Bandung, tidak hanya memperbaiki pembangunan fisiknya, tetapi juga membetulkan komitmen pemerintah yang belum memperlihatkan perlindungan pada warganya (sumber). Dewan Eksekutif Kemitraan Habitat, Nirwono Joga, menuturkan beberapa hal yang harus dibenahi oleh Kota dan Kabupaten Bandung. Pertama, revitalisasi saluran drainase. Daya tampung air yang ada di Bandung harus diperbesar dari 1,5 meter menjadi 2,5 sampai 3 meter.  

Kedua, mengubah pendangan pemerintah untuk mengatasi banjir. Selama ini, pemerintah berpikir mengenai cara untuk membuang air sebanyak-banyaknya ketika hujan turun. Padahal, seharusnya, bagaimana air itu ditampung. Jadi ketika hujan, air bisa mengalir melalui saluran yang semestinya dan bermuara di danau, waduk, dan sebagainya.

Di samping itu, menurut Nirwono, Bandung juga harus memperbanyak Ruang Terbuka Hijau (RTH). Yang ditekankan disini adalah bukan hanya mempercantik taman, tetapi juga memperbanyak taman. RTH Bandung harus mencapai 30 persen jika tidak ingin banjir melanda semakin tinggi setiap tahunnya.

Selain itu, menurut kompasianer ACJP Cahayahati, walaupun banjir Bandung cepat surut karena letak geografisnya yang miring ke Selatan, ini tidak bisa didiamkan terus-menerus. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh pemerintah kota dan kabupaten Bandung. Menurutnya, pertama adalah tidak menambah air longsoran. Karena Bandung yang dikelilingi gunung dan berada di cekungan ini, keadaannya sangat bergantung dari resapan air di sekeliling lereng-lereng di atasnya.

Air hujan bisa bebas "terjun" tanpa hambatan disebabkan oleh terus berkurangnya wilayah resapan air di Bandung Utara. Padahal, jika wilayah utara masih banyak pohon, air hujan yang turun bisa tertahan mencapai kedalaman 15 cm. Tidak hanya dibangun permukiman, tetapi juga dialihkan untuk kawasan kuliner dan wisata sehingga pembukaan akses jalan pun juga semakin banyak. Ini berarti semakin mengurangi daerah resapan untuk kota dan kabupaten Bandung yang berada di bawahnya.

Kedua, sungai seharusnya bebas sampah sehingga air pada gorong-gorong sepanjang jalan dapat mengalir dengan lancar. Menurut ACJP, ini merupakan hal yang sulit diubah jika dari manusianya sendiri tidak berniat untuk berubah. Harus ada gebrakan yang tidak biasa untuk mengubah ini. Hal ini juga tidak dapat diselesaikan dalam program gubernur atau walikota atau bupati yang hanya menjabat 5 tahun saja, tetapi mungkin butuh hingga dekade untuk menuntaskannya.

Ketiga, tidak ada efek perubahan iklim. ACJP menuliskan bahwa daerah Bandung, seperti yang sudah diprediksi oleh BMKG, memang merupakan daerah yang memiliki curah hujan tidak normal.

"Curah hujan tidak normal ini sebagai bagian dari fenomena La Nina. Menurut Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho dalam rilisnya pada Rabu, 8 Juni 2016 La Nina terjadi di saat kondisi suhu muka laut di bagian Barat Sumatera lebih hangat daripada suhu muka laut di pantai timur Afrika, sehingga menambah pasokan uap air, yang menimbulkan bertambahnya curah hujan, di wilayah Indonesia bagian Barat," tulis ACJP.

Sesungguhnya penyelesaian suatu masalah perkotaan tidak bisa dilakukan oleh satu pihak, yakni pemerintah atau masyarakatnya saja. Keduanya harus saling berkontribusi dan bahu-membahu untuk menuntaskan masalah kotanya bersama-sama. Dibutuhkan juga kesadaran yang penuh agar keadaan kota menjadi lebih baik. (FIA/YUD)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun