Pekan lalu, secara mengejutkan Presiden Joko Widodo terlibat langsung dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Kementerian Perhubungan. Dalam OTT ini presiden didampingi Kapolri beserta kepolisian berhasil mengamankan sejumlah barang bukti terkait adanya pungutan liar dalam sebuah birokrasi perizinan kapal.
Pungutan liar memang bukan hal yang aneh lagi dalam sebuah birokrasi di Indonesia, namun yang mengherankan adalah pungutan liar ini terjadi di tengah proses perizinan yang telah dibuat secara online. Jika ditelaah, perizinan berbasis onlineyang notebenenya tidak lagi berhubungan langsung dengan petugas dapat memperkecil kemungkinan adanya pungli. Namun kenyataannya berbeda.
Proses perizinan onlineini seolah menjadi paradoks. Dibuat untuk memudahkan namun malah menjadi kesulitan tersendiri bagi para pemohon izin, dan pada akhirnya hal ini malah memicu adanya pungutan liar.
Melihat sebuah paradoks ini, Kompasiana tertarik untuk membuat jajak pendapat di mana dilontarkan statementbahwa Birokrasi Online Hanya Memperbanyak Pungli. Hasilnya sebanyak 1 Kompasianer mengatakan setuju dengan argumen ini dan 5 lainnya menyatakan berseberangan.
Kompasianer Sugiyanto menilai bahwa segala sistem birokrasi yang dibuat secara online masih memiliki celah besar untuk adanya tindakan pungli. Memang, tidak ada sistem yang sempurna dan aman karena meskipun kecil, tetap ada celah yang bisa dieksploitasi dan menjadi besar.
Menurut Sugiyanto, pada awalnya sistem birokrasi onlinebisa berjalan dengan baik, namun tetap saja lama kelamaan bisa diakali.
"Contohnya mau pasang listrik online, kemudian petugas melakukan survey dan untuk bisa lolos survey maka petugas tersebut melakukan pungli," tulis Sugiyanto.
Pada dasarnya memang pungli seolah sudah menjangkit banyak lapisan, baik lembaga pemerintah dari tingkat yang paling dasar hingga sekelas kementerian. Presiden Joko Widodo pun menegaskan bahwa persoalan pungli bukanlah sekadar nominal uang, tapi pelayanan terhadap masyarakat.
"Yang lebih kecil pun akan saya urus. Bukan hanya lima ratus ribu atau satu juta, tapi sepuluh ribu rupiah pun akan saya urus," kata Jokowi sebagaimana diberitakan Kompas.comÂ
Kembali pada persoalan sistem birokrasi onlineyang malah berpotensi memicu tindakan pungli. Sejauh ini, masih banyak pihak yang optimistis bahwa sistem pelayanan publik secara online dapat menghindari adanya pungutan liar.
Salah satunya adalah Kompasianer Didi W. Menurutnya sudah ada beberapa institusi yang mampu melayani secara onlinetanpa uang pungli. Pungli menurut Didi bisa terjadi atas beberapa sebab. Salah satunya adalah sikap pemimpin institusi tersebut yang tidak punya komitmen dan keberanian menghapus pungli.
"Pungli bisa terjadi juga karena tidak ada sarana untuk kita mengadu secara langsung dan menindaklanjuti saat itu juga," ujar Didi.
Ia memberi contoh, salah satunya adalah di BPTSP DKI Jakarta yang justru tidak ada tindakan pungli. Bahkan ada nilai plus di mana saat berkas yang diajukan telah selesai diproses, petugas setempat mengirimkan pada alamat rumah yang mengajukan.
"Tidak ada pungli malah, justru ada nilai tambah yang diberikan," tambah Didi.
Bukan hanya Didi, Kompasianer Octavian pun menyatakan senada. Ia optimistis bahwa sistem pelayanan dan birokrasi onlineke depannya dapat memperkecil kemungkinan adanya pungutan liar. Namun menurutnya, pemerintah khususnya pengelola sistem harus terus memperbaiki diri agar tidak kecolongan.
"Seharusnya kalau sudah onlinekemungkinan untuk adanya pungli jadi lebih kecil. Kecuali kalau sistemnya hanya akal-akalan saja dan masih bisa diintervensi prosesnya sehingga tidak transparan," tulis Octavian.
Kendati demikian, pemerintah akan terus gencar membuat dan memperbaiki sistem pelayanan berbasis online. Bahkan Menteri Kemenkumham Yasonna Laoly pun menyatakan nantinya seluruh layanan publik harus menggunakan sistem ini.
"Tindakan keras juga harus dilakukan, ini sikap kami. Saya kira bangsa ini harus sudah berubah termasuk reformasi dalam pelayanan publik," kata Yasonna dikutip dari Kompas.com
Memang, sekecil apapun pungli harus diberantas. Karena berapa pun nominalnya tindakan ini adalah bagian dari korupsi dan ini harus diberantas sampai ke akarnya.
(YUD)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H