Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai lembaga yang mengawasi tayangan publik kembali mendapat sorotan beberapa waktu lalu.
Hal ini berawal dari sebuah stasiun televisi swasta yang menayangkan rangkaian persiapan PON cabang olahraga renang. Materi dalam liputan tersebut mengulas atlet renang yang tengah mengikuti persiapan PON Jabar, namun yang mengherankan adalah gambar atlet tersebut diblur layaknya gambar pornografi.
Meski KPI telah menyangkal dan menjelaskan bahwa hal tersebut dilakukan atas inisiasi stasiun televisi yang bersangkutan, nama KPI tetap menjadi incaran kritik para netizen.
Tentu saja hal ini mengundang banyak komentar termasuk Kompasianer. Berikut ini adalah 4 komentar tentang salah kaprah sensor televisi di Indonesia.
1. Swa-sensor Bikini nan Lebai
Dalam peraturan itu tertulis bahwa paha, belahan dada, bokong dan beberapa bagian tubuh lainnya tidak diperbolehkan ditampilkan secara langsung, namun tidak jelas bagaimana jika kasusnya pada tayangan olahraga seperti renang ini.
Menurut Denny, media pun seharusnya paham bahwa penayangan materi olahraga memiliki konteks yang berbeda dengan pornografi. Karena belakangan diketahui bahwa penyensoran ini atas dasar inisasi stasiun televisi yang bersangkutan, swa-sensor ini bisa disimpulkan karena kesalahan penafsiran aturan yang ada.
Swa-sensor yang terjadi pada stasiun televisi seperti ini memang kerap menjadi anomali. Umumnya media ditegur karena pelanggaran etika, tapi kali ini malah ditegur karena melakukan sensor yang berlebihan.
Persoalan etika penyiaran tidak lepas dari pantas dan tidak pantas, boleh dan tidak boleh. Teguran-teguran dari KPI pula yang mungkin menyebabkan adanya sebuah stasiun tv yang mencantumkan tulisan 18+ di layar pada sebuah acara berita yang tayang malam hari.
2. Salah Kaprah Sensor Tayangan Televisi
Dalam undang-undang, memang dikatakan bahwa konten yang mengandung unsur kekerasan, cabul sara dan beberapa pelanggaran lain layak untuk dikenai sensor, baik di blur maupun dipotong.
Tugas KPI menurut Suci salah satunya adalah menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar. Dan tayangan atlet renang tersebut rasanya tidak pas jika malah dikenai sensor.
Suci mengatakan ia lebih sepakat jika tayangan yang memperlihatkan permusuhan, kebencian, perpecahan, pelecehan agama dan diskriminatif lah yang harusnya mendapatkan sensor. Bahkan jika perlu dipotong dengan semestinya.
3. Tentang Sensor Berlebihan: Semakin Ditutupi, Semakin Penasaran
Sebagai anak muda, Vallendri mengatakan bahwa sensor berlebihan seperti ini malah membuat anak semakin penasaran. Misalnya, ada sebuah iklan alat kontrasepsi, seorang remaja tentu bisa saja tertarik dan penasaran ingin tahu seperti apa alat kontrasepsi tersebut.
Kemudian untuk memenuhi rasa ingin tahunya ia mencari lewat internet. Dan disinilah yang malah menjadi lebih berbahaya.
Sensor boleh saja dilakukan karena memang ini untuk kebaikan bersama. Tapi sensor berlebihan malah membuat orang semakin penasaran dan bisa malah berdampak negatif.
4. Sensor Atlet Renang, Masalah Eksploitasi Tubuh atau Apa?
Menurutnya, dalam P3SPS pada pasal 18 disebutkan bahwa stasiun televisi dilarang mengeksploitasi bagian-bagian tertentu seperti paha, bokong, payudara, secara close up. Dan masalah seperti ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Tepatnya di Olimpiade Rio lalu, juga terjadi permasalahan yang sama.
Usaha lembaga penyiaran untuk tidak mengeksploitasi tubuh membuat anomali. Sebenarnya menurut Arnold, yang perlu diatur adalah bagaimana cara jurnalis meliput dan mengambil gambar. Apakah bisa diatur agar gambar yang diambil tidak secara close up atau medium close up.
Jadi menurut Arnold, yang perlu dibenahi adalah bagaimana cara seorang jurnalis mengambil gambar. Agar gambar tersebut tidak melanggar ketentuan P3SPS dan tetap pada koridor yang tepat.
(YUD)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H