Mohon tunggu...
Kompasiana
Kompasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Akun Resmi

Akun resmi untuk informasi, pengumuman, dan segala hal terkait Kompasiana. Email: kompasiana@kompasiana.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Terkait Wacana Full Day School, Inilah 4 Pandangan Kompasianer

15 September 2016   09:26 Diperbarui: 18 September 2016   20:38 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Anak Sekolah (Foto: M LATIEF, KOMPAS.com)

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menggagas sistem Full Day School untuk pendidikan dasar (SD dan SMP). Wacana ini juga akan berlaku di sekolah negeri maupun swasta. Meski menggunakan kata “full day” program ini tidak mengharuskan anak untuk satu hari penuh berada di sekolah. Maksudnya anak akan tetap berada di sekolah sambil menyelesaikan tugas-tugasnya, hingga dijemput orangtuanya seusai jam kerja.

Namun wacana kebijakan ini menuai kontroversi, pasalnya sistem pendidikan satu hari penuh ini dianggap tidak akan efektif dan malah memberi tekanan psikologis pada siswa. Awalnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendi menggagas sistem ini agar anak didik tidak sendirian ketika orangtua mereka masih bekerja sehingga anak-anak tersebut tetap berada dalam pengawasan. 

Tentu saja gagasan ini memicu reaksi yang beragam dari masyarakat. Meski sejatinya wacana ini telah dibatalkan, ragam reaksi dari masyarakat sangat menarik untuk dicermati. Kompasianer pun memiliki sudut pandang masing-masing dalam menilai kebijakan ini. Dan berikut adalah 4 pandangan Kompasianer mengenai wacana Full Day School:

1. Asyiknya Hidup di Asrama

Menurut Susy Haryawan program Full Day School yang salah satu penerapannya menggunakan asrama justru akan membuat sang anak senang. Pasalnya kehidupan di asrama menurutnya menyenangkan. Di asrama persaingan antar siswa dikenal sehat.Para siswa berlomba mendapatkan prestasi yang baik, namun tetap sebagai teman dan saudara seperjalanan. Kemenangan rekan merupakan suka cita bersama, misalnya lomba yang diikuti teman. Iri hati apalagi dengki menurutnya jarang terjadi di lingkungan asrama. Prestasi rekan lainnya justru menjadi cambuk penyemangat.

2. Sekolah: Alat Makin Modern, Durasinya Justru Makin Panjang

Ilustrasi Anak Sekolah (Foto: M LATIEF, KOMPAS.com)
Ilustrasi Anak Sekolah (Foto: M LATIEF, KOMPAS.com)
Menurut Gien, full day school terkesan menyiratkan niat "pemenjaraan". Anak-anak "ditahan" selama mungkin di sekolah supaya tidak "bebas berkeliaran" dan berbuat macam-macam tanpa pengawasan. Dengan cara pandang demikian, libur sekolah pastinya menjadi dilema. Bahkan bisa dianggap "berbahaya" bagi siswa.

Ia juga merasa bingung dengan program tersebut. Pasalnya jika tujuannya memperkecil waktu kontak siswa dengan dunia luar selain sekolah, pastinya hari Sabtu tidak akan dijadikan hari libur. Hari Sabtu tetap masuk, jadinya full day school 6 hari sekolah. Bahkan kalau bisa, hari Minggu tetap bersekolah, tetap dalam pengawasan sekolah. Karena itulah menguat pula wacana boarding school atau sekolah berasrama yang memungkinkan para siswanya tinggal/ menetap di lingkungan sekolah selama pendidikan.

3. Half atau Full Day School, Tanggung jawab Anak tetap Pada Orang Tua

Anak sekolah. edukasi.kompas.com
Anak sekolah. edukasi.kompas.com
Berkat munculnya wacana Full Day School, Dini Nurbaiti mengajak para orangtua untuk introspeksi diri mengenai waktu bersama anak di rumah. Ia sebagai ingin agar anak-anak lebih dekat dengan orang tua kandungnya, bukan dengan guru di sekolahnya. Menurutnya anak lebih senang bermain bersama di rumahnya, bukan bersama teman-temannya di sekolah. Anak lebih merasa aman jika berada di rumah,bukan di tempat lainnya. Orangtua memiliki peran lebih besar dalam menciptakan rasa aman bagi anak dimanapun berada.

4. Apa yang Salah dengan Program Full Day School?

Sejumlah siswa SD memegang kreweng usai memainkannya (Foto: KOMPAS.com, MUHAMAD SYAHRI ROMDHON)
Sejumlah siswa SD memegang kreweng usai memainkannya (Foto: KOMPAS.com, MUHAMAD SYAHRI ROMDHON)

Menurut Guntur Saragih, pendidikan bukanlah monopoli pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah tidak boleh merampas partisipasi orangtua, masyarakat, lingkungan dalam mendidik siswa. Full day school harusnya merupakan opsi, bukan ketentuan. Orang tua, siswa berhak ikut atau tidak kegiatan pendidikan di luar kurikuler.

Ia juga menambahkan, wacana tersebut harus didukung oleh internal di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, baik dari sisi sumber daya maupun regulasi. Apakah sudah ditanyakan kepada guru, kepala sekolah, dinas pendidikan atau pihak-pihak lain yang terlibat dalam penyelenggaraan. Guntur juga merasa belum mendengar dukungan dari pihak guru atau asosiasi sekolah. Ia berharap wacana ini hanya obsesi pribadi.

(LBT/YUD)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun