Mohon tunggu...
Kompasiana
Kompasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Akun Resmi

Akun resmi untuk informasi, pengumuman, dan segala hal terkait Kompasiana. Email: kompasiana@kompasiana.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pantaskah Guru Dikriminalisasi?

25 Juli 2016   12:21 Diperbarui: 25 Juli 2016   12:28 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masih ingat kejadian seorang guru yang terpaksa terjerat hukuman hanya karena mencubit anak didiknya yang bandel?

Guru sebagai pendidik kini seolah mendapat posisi yang sulit. Ia berada di tengah-tengah kondisi di mana pada satu sisi ia harus bisa mendidik anak muridnya. Tapi di sisi lain, ketika Anak muridnya ditegur atau diberi hukuman, guru ini kerap dijadikan pihak yang salah.

Tapi memang ada dua penilaian atas kejadian ini. Pertama mereka yang menyesalkan kriminalisasi ini menilai bahwa hukuman cubit yang diberikan oleh guru ini tidak seberapa dan bertujuan untuk membuat murid tersebut menjadi lebih baik. Namun tidak sedikit juga mereka yang menyesalkan perlakuan guru ini karena sudah berhubungan dengan kekerasan fisik.

Tentu menarik melihat kejadian ini dari dua sudut pandang. Dan berikut ini adalah beberapa ulasan Kompasianer melihat kriminalisasi guru yang belum lama ini terjadi.

1. Masih Relevankah Mencubit Murid di Sekolah?

Ilustrasi. Teentimes.com
Ilustrasi. Teentimes.com
Pertanyaan menarik dari Rahmat Hanapi, apakah relevan jika seorang guru mencubit muridnya di sekolah? Memang, akhir-akhir ini tengah menjadi tren pembicaraan tentang guru yang mencubit anak muridnya dan berakhir di meja hijau. Dan Rahmat menganggap adalah sebuah keanehan jika guru masih menerapkan cara yang "ortodoks" untuk menghukum muridnya di zaman sekarang ini.

Memang, berbeda zaman berbeda pula pendekatannya. Banyak pihak yang kemudian membandingkan perlakuan guru zaman dulu dengan zaman sekarang. Dan Rahmat melihat perbandingan seperti ini tidaklah tepat.

Mental anak juga sudah sangat berbeda. Hal ini tentu dipengaruhi dengan adanya perkembangan dunia teknologi yang sangat pesat. Tentu saja teknologi juga memengaruhi, karena dewasa ini informasi sangat bisa berkembang dan tersebar dengan cepat melalui media sosial. Tidak menutup kemungkinan juga ketika seorang murid yang dicubit akan menjadi bahan perbincangan di antara murid-murid lainnya melalui media sosial. Dan hal ini bisa berdampak pada bagaimana malunya murid tersebut ketika dicubit di hadapan temannya.

Dia bisa kehilangan kepercayaan dirinya. Dan jika sudah hilagn, maka jangan harap ia akan mampu menyerap pelajaran di sekolahnya. Justru kemungkinan besar ia akan semakin berulah. Intinya adalah bagaimana guru dan sekolah harus memahami psikologis setiap murid. Sekolah harus memberi rasa nyaman karena tempat ini menjadi rumah kedua bagi murid.

2. Nak, Menjadi Guru Itu Tak Mudah!

Suhendi, guru honorer mengajar di kelas jauh SD Kuta Karang 3, Kecamatan Cibitung. Kompas
Suhendi, guru honorer mengajar di kelas jauh SD Kuta Karang 3, Kecamatan Cibitung. Kompas
Beban guru itu berat. Kalimat pertama ini tertulis dalam artikel yang dibuat Fidia Wati dan banyak yang mengamininya. Siapa sangka profesi guru yang kerap dipandang sebelah mata ini adalah pekerjaan yang sangat berat karena dibebani dengan tanggung jawab yang tidak sedikit.

Fidia menceritakan pengalamannya ketika anaknya menjalani Homeschooling. Ketika menjalani ini, secara otomatis orangtuanyalah yang sepenuhnya bertanggung jawab dalam proses pengajaran.

Ketika mengajar anaknya, Fidia harus berpikir keras mencari solusi agar anaknya bsia belajar lebih efektif. Segala cara ia lakukan agar anaknya mau memperhatikan pelajaran. Tidak heran jika ia pernah merasa frustasi akan hal ini.

Itu baru satu anak, bagaimana dengan guru kelas yang mengajar banyak anak yang berbeda-beda karakternya?

Dengan beban kerja guru yang berat ini, di sisi lain bayaran yang diberikan juga tidak seberapa. Apalagi jika guru tersebut berstatus honorer. Fidia pun menilai, tindakan orangtua yang melaporkan perlakuan guru yang mencubit murdinya ini sangatlah tidak tepat. Karena bukan menjadi solusi namun malah membuat masalah baru antara orang tua dan anak.

Anak akan menjadi lembek mentalnya dan bisa saja bertindak semena-mena nantinya. Dia tidak akan pernah belajar dari kesalahannya.

3. Kasus Cubit: Siapakah yang Benar? Guru atau Murid?

Ilustrasi. Shutterstock
Ilustrasi. Shutterstock
Tidak terima karena dicubit, seorang guru dibawa ke peradilan. Mungkin ini adalah imbas dari adanya konsep hukum yang belum tertanam secara mendalam di masyarakat.

Sebenarnya, Rusyd Al Falasifah melihat adanya permasalahan mendasar dari kasus ini. Yaitu kurang pahamnya sebagian wali murid akan konsep sanksi. Alhasil, wali atau orangtua murid ini menganggap bahwa sanksi fisik maupun psikis adalah bagian dari kekerasan.

Memang, suatu sanksi bisa menjadi negatif jika diberikan tidak sesuai dengan signifikansi aturannya. Atau dengan kata lain sanksi justru diberikan untuk kepentingan tertentu. Jadi sebenarnya sanksi pukulan, marah, dsb itu tidak menjadi masalah asalkan diberikan sesuai dengan pentingnya aturan yang dilanggar.

Dalam kasus guru mencubit murid ini memang terlihat agak kompleks menurut Rusyd. Perkaranya, murid dicubit karena tidak melakukan shalat. Memang jika dilihat dari sisi agama, shalat adalah perintah yang wajib dilakukan. Tapi bagaimana jika yang bersangkutan punya pandangan atau fiqh tertentu? Inilah yang membuatnya kompleks.

Tapi dunia pendidikan tentu bertujuan untuk mendidik, mengantarkan anak yang tidak tahu menjadi tahu, menjadi kompeten dan teratur.

4. Mengapa Publik Mendukung Kekerasan ‘Sambudii’?

bogor.tribunnews.com
bogor.tribunnews.com
Ndhy Rezha memiliki pandangan unik akan kasus ini. Menurutnya, pada dasarnya kekerasan adalah hal yang tidak dapat dibenarkan apalagi dalam institusi pendidikan seperti sekolah.

Guru dalam hal ini yang bertindak sebagai pendidik dituntut untuk menanamkan pemikiran positif pada anak didiknya. Dalam kasus ini, publik seharusnya bisa jeli melihat persoalan ini dengan tidak mengesampingkan moral yang menjadi acuan.

Tentu guru bukan pihak yang selalu benar. Adakalanya guru patut disalahkan. Dan tentu saja guru juga boleh melakukan tekanan apa saja pada murid agar anak didiknya berada pada jalur yang positif, tapi dalam batasan tertentu guru tidak semestinya mengambil tindakan fisik.

Menjadi sangat lucu ketika melihat reaksi masyarakat khususnya netizen yang menolak kekerasan tapi malah memberikan dukungan pada apa yang dilakukan guru tersebut.

5. Guru dalam "Guncangan Sistem Bank"?

Ilustrasi. Kompas
Ilustrasi. Kompas
Seorang tokoh pendidikan asal Brasil, Paulo Freire pernah mengemukakan sebuah metode yang disebut metode sistem bank. Sistem Bank ini menganalogikan anak didik adalah sebuah gelas kosong yang menyediakan dirinya untuk diisi air pengetahuan oleh gurunya. Dengan kata lain, anak didik adalah objek pengetahuan guru.

S. Aji menemukan hubungan antara metode ini dengan kasus guru mencubit murid yang berujung pada proses peradilan.

Kasus guru tersebut menandakan adanya retakan dalam sistem bank yang dikritik Freire ini. Posisi subjek dan objek tersebut menjadi gamang dan tidak jelas. Bukan karena murid memberontak melainkan karena sumber pembentuk kesadaran makin sering digugat dan rentan dalam benturan.

Dalam kasus tersebut guru terlihat tidak lagi jadi acuan moral utama karena murid memiliki preferensi lain. Bisa saja karena pengaruh televisi atau hal lainnya. Pada saat bersamaan, negara juga berlaku protektif terhadap anak dengan adanya undang-undang tentang perlindungan anak.

Di sisi lain, kenakalan anak saat ini menurut Aji adalah berasal atau ditiru dari sesuatu di luar lingkungan sekolah atau keluarga. Dan anak ini pun tidak berpikir bahwa peniruan ini sebagai sesuatu yang salah dan mengakibatkan hal serius.

Sebenarnya dalam hal ini, membangun komunikasi adalah jalan terbaik. Penyelesaian kasus ini pun bisa melalui atau menggunakan instrumen dewan atau sejenisnya. (YUD)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun