Momentum hari raya selalu identik dengan pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) dari perusahaan untuk para pegawainya. Mulai dari level bawah, menengah hingga atas berhak mendapatkan tunjangan ini karena memang sudah diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja.
Besaran tunjangan ini bervariasi, namun menurut peraturan yang berlaku besaran THR adalah setara dengan satu kali gaji pokok. Tapi untuk pekerja yang belum genap satu tahun bekerja maka berlaku perhitungan khusus.
Lalu bagaimana cerita Kompasianer dengan THRnya masing-masing? Berikut ini adalah sedikit cerita dan opini tentang THR dari Kompasianer.
1. THR untuk Pekerja Rumah Tangga: Derma atau Kewajiban Majikan?
Menurutnya, memang dalam aturan baku tidak ada kejelasan tertulis tentang posisi "majikan" namun mungkin bisa disamakan dengan pengusaha karena sifatnya sama-sama pemberi kerja. Juga dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja ada satu pasal yang menyebutkan bahwa PRT berhak mendapat imbalan lebih dalam bentuk apapun. Artinya, PRT pun berhak mendapat THR.
Bagaimana perhitungannya? Qory pun menjelaskan secara rinci perhitungan yang ideal untuk memberi THR pada PRT. Perhitungan ini juga sudah tercantum pada Permenaker No. 6 Th 2016. Di mana rumusnya adalah Masa kerja dibagi 12 bulan dan dikalikan 1 bulan gaji. Itulah THR ideal yang diberikan.
Selain itu ada hal yang perlu ditekankan. Bingkisan hari raya yang diberikan pada PRT tidak bisa dihitung sebagai THR, itu hanya sekadar bonus saja.
2. THR, Tekanan Hari Raya
Saat menunggu hari raya ini ada banyak sekali godaan yang muncul. Misalnya ketika Istri meminta baju gamis yang dipakai selebriti, atau ketika berjanji pada anak akan memberi imbalan puasa jika puasanya full 30 hari. Belum lagi pengeluaran-pengeluaran lainnya.
Hal-hal inilah yang menjadi tekanan untuk kita. Mendekati lebaran pun kita harus menyediakan angpao untuk saudara atau keponakan. Dan yang paling besar menyita anggaran, pikiran dan menjadikan tekanan adalah biaya mudik. Ongkos mudik tidak murah setiap tahunnya.
Sebenarnya tunjangan ini dalam abreviasi THR benar adanya. Disebut "tunjangan" karena harus menahan tekanan yang akan hadir saat hari raya.
3. Nggak Usah Nunggu Jadi Boss Buat Kasih THR
Tapi di sinilah hebatnya Indonesia. Masih ada rasa dan sifat kekeluargaan serta gotong royong. Biasanya sekelompok karyawan menyisihkan dan mengumpulkan uang mereka. Kemudian dibelikan sembako dan diberikan pada office boy.
Di lingkungan tempat tinggal pun hal seperti ini bisa saja dilakukan. Misalnya ada tukang angkut sampah di kompleks pun tidak dilupakan. Kita bisa menyisihkan sedikit uang kita untuk memberikan THR pada mereka.
Ini bukan hanya soal kemanusiaan, tapi juga soal budaya dan sosiologi bangsa. Lebaran punya makna spesial bagi masyarakat Indonesia apapun agam dan kepercayaannya. Ini sudah menjadi kearifan bangsa yang berakar sejak dulu.
4. THR dan Mentalitas Meminta
Menurut Idris Apandi pemberiah THR ini sebenarnya sah-sah saja selama si pemberi memiliki anggaran. Selain untuk membantu meringankan beban pengeluaran lebaran, THR juga memberi kebahagiaan untuk pegawai.
Yang kemudian jadi persoalan adalah ketika banyak sekali pihak yang tidak memiliki kaitan dengan kita tapi meminta THR. Tentu saja ini memberatkan si pemberi THR. Di lingkungan sekolah, pemerintah atau instansi lain tidak sedikit yang meminta THR melalui surat resmi. Atau bahkan ada juga yang meminta secara langsung tanpa malu.
Inilah yang menjadi masalah. Padahal tindakan memaksa meminta THR seperti ini adalah sikap yang melanggar hukum. Bahkan jika mau, pihak yang merasa dirugikan ini bisa melapor pada aparat berwajib.
Inilah yang selalu salah. Mental bangsa ini pada umumnya memang lebih senang menerima dari pada memberi.
5. Mengapa Harus THR?
Kemudian ada juga yang mengatakan bahwa orang yang sering meminta THR adalah orang yang bermental pengemis. Tapi sebenarnya memang ada beberapa alasan mengapa sikap menuntut THR ini muncul. Di antaranya adalah:
Pertama, budaya konsumtif. Sifat manusia ketika menjelan hari raya berubah drastis menjadi lebih konsumtif. Karena memang tuntutan pengeluaran jauh lebih besar saat seperti ini. Ditambah harga meningkat jauh. Semua kebutuhan menjadi lebih mahal.
Kedua, mental tangan di bawah. Akibat besarnya kebutuhan finansial ini maka sebagaian besar mereka mencoba menyebarkan proposal permintaan bantuan. Mental ini muncul ketika kebutuhan yang harus dipenuhi tidak sejalan dengan suplai keuangan pribadi.
Ketiga, kesenjangan sosio-ekonomi. Banyaknya pengajuan bantuan THR menandakan adanya kesenjangan ekonomi di masyarakat. Perbedaan ini sangat berbahaya dalam tataran negara. Ketika orang berduit tidak mau menyalurkan bantuannya pada yang membutuhkan, maka ini bisa menimbulkan polemik tertentu. (YUD)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H