Pada awal bulan Ramadan kemarin berita sebuah razia yang dilakukan Satpol PP di daerah Banten terhadap warung makanan yang buka di siang hari menjadi viral di media sosial.
Tindakan Satpol PP yang dinilai semena-mena ini mendapat protes dan sorotan tajam dari para netizen. Bukan hanya netizen, bahkan Presiden dan Wakil Presiden juga turut berkomentar.
Sebenarnya di daerah Banten sendiri ada Peraturan Daerah yang mengatur tentang larangan warung-warung atau restoran agar tidak berjualan di siang hari. Dan tindakan yang dilakukan Satpol PP ini memang berdasarkan peraturan tersebut.
Namun tentu saja ada berbagai cara pandang dan pola pikir berbeda-beda di masyarakat, termasuk Kompasianer. Dan berikut ini adalah beberapa pandangan Kompasianer mengenai pelarangan dan razia restoran yang buka di siang hari di bulan Ramadan.
1. Razia Warung Makan, Reaksi "Liar" Netizen: Sebuah Agenda Pelemahan Peran Agama dan Potensi Rusak Toleransi?
Dalam artikelnya, Yusran menambahkan bahwa hal ini bukan hanya sekadar peraturan tapi juga tentang toleransi. Tradisi toleransi seperti ini juga sebenarnya ada di Bali. Ketika umat Hindu merayakan Nyepi, umat Islam yang minoritas pun juga menghentikan aktivitas mereka.
Untuk kasus razia yang terjadi di Serang ini, sebenarnya dalam peraturan daerah pun diatur bahwa warung boleh buka di atas jam 16.00. Artinya tidak ada pelarangan di sini melainkan pengaturan jam buka. Dan jika terjadi penolakan, pasti akar masalahnya adalah ekonomi.
Bukan menghormati orang yang berpuasa, tapi lebih luas adalah menghormati setiap umat yang tengah beribadah adalah bentuk toleransi. Termasuk dengan mengubah jam operasi warung untuk menjajakan dagangannya.
2. Menyoal Razia (Warteg) di Bulan Ramadhan
Jika membuka warung makan di bulan Ramadan adalah larangan dalam Islam, maka menurut Syahirul ini adalah upaya pembenaran agama yang sesat dan jauh dari nilai kemanusiaan. Menurutnya, seorang muslim yang berpuasa di negara minoritas muslim maka akn memiliki nilai lebih dibandingkan di negeri mayoritas muslim. Sama seperti mereka yang berpuasa di tengah lingkungan yang memperbolehkan warung untuk buka di siang hari.
Membuat aturan untuk merazia tempat makan selama Ramadan seharusnya tidak mengikutsertakan agama di dalamnya, karena Islam tidak pernah sama sekali mempersoalkan tempat-tempat makan harus ditutup dengan alasan agama.
3. Sedikit-sedikit Syariah, Sedikit-sedikit Intoleran
Pemerintah menganggap ini sebagai perda bernuansa syariah yang berujung pada tuduhan intoleran. Bahkan kaum liberalis menganggap sebagai perda perlindungan bagi orang yang tidak berpuasa.
Memang benar dalam Islam sendiri tidak ada larangan untuk membuka warung di siang hari saat Ramadan namun sebenarnya Perda tersebut ada hanya untuk menghormati orang yang berpuasa, bukan melindungi orang yang berpuasa.
Penutupan warung makan siang hari adalah lambang penghormatan terhadap orang yang berpuasa. Sama ketika kita membungkuk saat berjalan melewati kerumunan orang.
4. Puasa dan Toleransi
Memang, puasa bukan sekadar menahan diri dari makan dan minum, tapi juga melatih serta mengajarkan toleransi. Menurut Amirudin, seorang muslim yang tengah berpuasa harus siap berdampingan dengan yang tidak berpuasa. Bagi mereka yang berpuasa maupun tidak harus saling menghormati.
Menanggapi warung yang buka di siang Ramadan ini pemerintah daerah seharusnya bisa berlaku bijak. Setiap peraturan yang berlaku harus diperhitungkan dan mempertimbangkan banyak hal. Juga aparat Satpol PP tidak perlu berlebihan.
5. Kasus Serang Jangan Dijadikan Pembenar untuk Intoleran
Kompasianer Yon Bayu mengungkapkan bahwa tindakan seperti ini memang tidak dibenarkan dengan dalih apapun. Namun jangan sampai kejadian ini malah menjadi alat pembenar untuk menggugat sikap toleransi di Indonesia.
Yon Bayu menerangkan bahwa tindakan menutup warung di siang hari dengan menggunakan tirai pembatas selama bulan puasa atau membatasi jam operasional tempat hiburan malam adalah bentuk toleransi yang harus dipertahankan.
Memang merugikan pihak lain, tapi itulah arti sesungguhnya. Tidak ada toleransi tanpa sebuah pengorbanan. Sama seperti di Bali ketika umat Hindu merayakan Nyepi, umat Islam pun tidak boleh protes ketika harus ikut gelap-gelapan.
Yon juga mengatakan bahwa lama waktu bukan menjadi tolok ukur untuk besar kecilnya toleransi. Namun yang terpenting adalah toleransi dilakukan bukan karena adanya aturan atau keterpaksaan. Bukan juga hanya artifisial agar dianggap toleran. Sikap ini dibutuhkan untuk tercapainya kedamaian dalam masyarakat. (YUD)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H