"Faktanya, saat ini dari 4.911 perguruan tinggi dan hampir 5 ribu industri besar, ekonomi kita malah melambat. Saya setuju (dengan pernyataan ini) dengan catatan prosesnya dilakukan dengan terbuka dan mendapat persetujuan wakil rakyat.
Sayangnya anggota Komisi X DPR, Dadang Rusdiana tidak sependapat. Ia malah menyayangkan rencana Menpan-RB, Yuddy Chrisnandi yang mengutamakan penerimaan CPNS dari perguruan tinggi ternama.
"Siapapun bisa jadi PNS dengan seleksi terbuka. Tidak dibatasi dengan popularitas kampus. Sebab, untuk jadi PNS punya kualifikasi," ujar Dadang kepada salah satu media daring.
"Kembali ke masing-masing mahasiswa, tidak bisa dipukul rata. Perguruan tinggi terkenal belum tentu hasilkan lulusan yang bagus," lanjutnya.
Pernyataan ini diamini oleh beberapa Kompasianer. Elianson Sinaga salah satu yang menyatakan kontra pada wacana tersebut. Eliason mengatakan, yang menjadi kriteria untuk menjadi seorang PNS adalah kejujuran, ketulusan dan komitmen tinggi melayani masyarakat. Tidak bisa hanya diukur melalui kecerdasan intelejensi.
"Kriteria utama sebagai PNS mestinya adalah kejujuran, ketulusan dan komitmen tinggi untuk melayani rakyat. Bukan hanya kepintaran atau inteligensia. Jadi entah dia lulusan dari universitas ternama atau bukan semua orang mesti diberikan kesempatan untuk menjadi seorang PNS," tulis Eliason.
"Karena lulusan yang pintar, jujur, ikhlas dan mau melayani rakyat dengan komitmen tinggi ada di mana saja bukan hanya terdapat di universitas-universitas ternama. Kementerian PAN RB seharusnya fokus membuat sebuah sistem yang bisa mendeteksi lulusan universitas yang berkompeten, pintar dan yang berakhlak mulia dan berkarakter baik, yang tidak goyah terhadap godaan, yang mampu mengatakan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah," ungkapnya.
Pernyataan yang tidak berbeda juga dilontarkan oleh Faris Saputra Dewa. Perguruan tinggi baik ternama atau tidak sampai saat ini masih belum jelas tolok ukurnya. Belum ada indikator untuk mengatakan bahwa perguruan tinggi tersebut ternama atau tidak. Jika kemudian pemerintah merilis daftar "perguruan tinggi ternama" maka ini hanya menjadi polemik baru.
"Karena perguruan tinggi hanyalah tempat untuk mengembangkan diri dan kemampuan, mau berkembang atau tidak itu bagaimana alumni dari perguruan tinggi tersebut. Kenyataannya tidak sedikit alumni perguruan tinggi (yang katanya) ternama jadi pelaku tindak kriminal," ucap Faris.
Hingga saat ini belum ada lagi kepastian tentang wacana ini apakah akan direalisasikan atau tidak.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H