Mengejutkan, Indonesia meraih peringkat tertinggi di dunia. Bukan karena prestasi, tapi menjadi negara dengan jumlah perokok terbesar di dunia.
Berdasarkan data dari The Tobacco Atlas 2015, data tersebut menunjukkan sebanyak 66 persen pria di Indonesia adalah perokok.
Miris memang. Tingginya jumlah perokok di Indonesia tentu saja kemudian berhubungan dengan jumlah penderita penyakit tertentu yang disebabkan oleh rokok.
Untuk menekan angka dan jumlah perokok, tentu saja perlu ada regulasi yang tepat. Dalam hal ini pemerintah lah yang memiliki kuasa tertinggi dalam menentukan. Tapi tidak bisa sembarangan karena rokok di Indonesia seperti buah simalakama.
Satu sisi rokok berdampak negatif bagi kesehatan. Tapi di sisi lain, rokok juga merupakan salah satu penyumbang devisa terbesar negara yang tentu saja kemudian pendapatan ini dialirkan kembali pada masyarakat dalam bentuk lain.
Melihat polemik ini, Kompasiana tertarik untuk melakukan jajak pendapat Pro Kontra dan melontarkan statement "Pemerintah Perlu Kurangi Angka perokok." Hasilnya ternyata berimbang. Sebanyak 5 Kompasianer menyatakan pro dan 5 lainnya menyatakan Kontra.
Salah satu yang mengatakan setuju adalah Pringadi Abdi Surya. Menurutnya hal yang penting adalah pemerintah harus menegaskan kembali di mana saja zona bebas rokok. Memang selama ini pemerintah telah memberlakukan Perda tentang larangan merokok di lokasi-lokasi tertentu, namun ini hanya sekadar peraturan tanpa adanya tindak lanjut.
"Tegaskan kembali zona bebas rokok. Jangan ada peraturan tanpa ketegasan pemberian sanksi," tulis Pringadi.
"Di sisi perusahaan, ini juga menjadi PR besar pemerintah. Sinergi sekian banyak Kementerian dan Lembaga perlu dilakukan. Mulai dari menaikkan cukai rokok sampai menanggulangi akibat bila pekerja kehilangan lapangan pekerjaan. Juga bagaimana konversi lahan yang tadinya ditanam tembakau bisa dialihkan ke tanaman lain yang nilai ekonomisnya tidak kalah," lanjutnya.
Selain Pringadi, Kompasianer Riap Windhu juga mengatakan hal senada. Ia menyatakan setuju jika pemerintah sesegera mungkin mengurangi jumlah angka perokok di Indonesia.
"Saya setuju untuk regulasi di dua pihak, tidak hanya pada perusahaan rokok saja tetapi juga pada perokok. Saat ini kesadaran untuk tidak merokok ternyata tidak berkurang meskipun sudah ada peringatan mengenai bahaya merokok di setiap bungkusnya. Jadi, perokok pun harus diberi penyadaran lebih untuk hal ini," tulis Riap.
Memang, jika dilihat dari sisi kesehatan, merokok bisa menyebabkan adiksi atau kecanduan negatif. Tidak heran jika banyak orang yang sudah tahu bahaya merokok tetapi tetap saja menghisapnya.
Bahkan seorang dokter spesialis paru di Rumah Sakit Persahabatan, Agus Dwi Susanto mengatakan, merokok itu seperti menyalakan dinamit.
"Merokok itu seperti menyalakan sebuah dinamit yang suatu saat akan meledak. Meledaknya berupa penyakit," kata Agus dikutip dari Kompas.com
Sejumlah penelitian pun sudah cukup membuktikan bahaya rokok bagi kesehatan. Bukti nyata juga dirasakan langsung para korban yang akhirnya berhenti merokok setelah sakit.
Silang pendapat tentulah hal biasa. Termasuk dalam polemik pengurangan jumlah rokok dan perokok di Indonesia ini. Tidak sedikit pihak yang menyatakan bahwa pemerintah tidak perlu mengurangi jumlah rokok di Indonesia dengan alasan juga akan mengurangi pendapatan negara.
Contohnya Kompasianer Luhut Simor, menurutnya rokok adalah salah satu sektor pendapatan negara yang harus dipelihara, bukan dikurangi. Karena dari sinilah Indonesia bisa mendapatkan devisa dari cukai yang jumlahnya tidak sedikit.
"Iklan anti rokok biaya baru, lapangan kerja baru dibalik kebencian rokok. Kenapa tidak dibuat saja larangan total 'Indonesia Bebas Tembakau atau Nol Tembakau' agar jangan jadi polemik, demikian, terimakasih," tulis Luhut.
Pemikiran serupa juga muncul dari Kompasianer Huda, alasannya sama yaitu pengurangan rokok berarti juga mengurangi jumlah pendapatan negara. Menurutnya seharusnya ada alternatif lain yang dilakukan pemerintah untuk penanggulangan hal ini.
"Tidak sepakat, selamatkan kretek, selamatkan indonesiaku, terimakasih kretek. Penghasilan negara perhari terbesar adalah tembakau, sehat ataupun sakit sebenarnya berasal dari fikiran," ungkap Huda.
Memang benar, jika melihat dari data pendapatan, Indonesia mencatatkan diri di urutan pertama sebagai negara dengan pendapatan ekspor terbesar di dunia dari produksi tembakau. Data ini adalah pada tahun 2012. Setidaknya sebesar 624,6 juta dolar didapat Indonesia dari 180,5 miliar batang rokok. Tentu saja ini adalah angka yang fantastis untuk sebuah pendapatan negara.
Sayangnya, pada tahun 2014 terdapat 4.891 kasus penyakit jantung yang diakibatkan oleh rokok. Dan pada 2015, kasus ini menciut menjadi 3.955 kasus. Bukan hanya itu, masih ada beberapa jenis penyakit lainnya yang tercatat muncul karena zat adiktif pada rokok.
Memang, rokok ini seperti buah simalakama. Pendapatan yang berasal dari tembakau sangat besar untuk Indonesia. Namun di sisi lain, kesehatan masyarakat juga perlu diperhatikan. Bagaimana menurut Anda, apakah perlu pemerintah mengurangi jumlah rokok dan perokok di Indonesia? (YUD)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H