18 tahun orde baru berakhir. Soeharto yang kala itu menjabat sebagai Presiden kedua Republik Indonesia memutuskan mundur atas desakan dan tuntutan mahasiswa. Dan sejak saat itulah era reformasi dimulai.
Bertepatan dengan 18 tahun reformasi, Partai Golkar dalam Munaslub beberapa waktu lalu melontarkan wacana untuk mengupayakan Soeharto menjadi pahlawan nasional.
Tentu saja polemik muncul. Soeharto kerap dicap sebagai sosok yang diktator, anti demokrasi serta korup. Namun di sisi lain, tidak sedikit juga yang menilai bahwa Indonesia di bawah kepemimpinan Soeharto lebih sejahtera dan ditakuti negara lain.
Kompasiana kemudian mengangkat polemik ini ke permukaan dengan melakukan jajak pendapat pro kontra. Kompasiana melontarkan statement bahwa "Soeharto layak menjadi pahlawan nasional" dan hasilnya sebanyak 2 Kompasianer mengatakan setuju dan 9 Kompasianer memiliki pendapat berseberangan.
Salah satu yang menyatakan setuju adalah Kompasianer Munajat. Menurutnya jika melihat ke belakang, kehadiran Soeharto saat itu sangat tepat ketika menghancurkan PKI di Indonesia.
"Dalam konstelasi politik dan suasana saat itu, kehadiran Soeharto adalah hadiah terindah sejarah, adapun penghancuran PKI adalah panggilan jiwa beliau sebagai tentara yang ingin mempertahankan Pancasila dan UUD 1945, walaupun dalam perjalanan sejarah beliau tentunya sebagai manusia pasti ada cacatnya," tulis Munajat.
Ketika itu, Presiden Soeharto memang mengeluarkan perintah untuk memberantas PKI beserta antek-anteknya. Peristiwa ini terpicu lantaran peristiwa G30S/PKI di mana partai komunis ini menculik sejumlah jenderal dan membunuh mereka satu per satu.
Senada dengan Munajat, Kompasianer Giens juga mengatakan bahwa Soeharto memang layak menjadi pahlawan nasional. Menurutnya, setiap orang pasti memiliki dosa namun tidak menutup kemungkinan untuk adanya hal baik dalam diri orang tersebut.
"Pahlawan bukan insan yg tanpa dosa. Pahlawan dihargai karena jasanya pada negara, bukan karena dosa-dosanya, apalagi dosa-dosa pada para musuh politiknya atau musuh negara," tulis Giens.
Bukan hanya Kompasianer, Wakil Ketua DPR RI Fadli ZOn juga mengemukakan hal serupa. Ia menilai Presiden kedua RI Soeharto layak diberi gelar pahlawan nasional.
Menurutnya, salah satu kriteria seseorang dikatakan layak menjadi pahlawan nasional adalah jika yang bersangkutan memiliki kontribusi dalam perjuangan bangsa merebut atau mempertahankan kemerdekaan.
"Secara pribadi saya mendukung," kata Fadli, Selasa (17/05) dikutip dari Kompas.com.
Ia menambahkan, Soeharto dulunya merupakan pelaksana Serangan Umum 1 Maret 1949. Menurut dia, momentum tersebut menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia ada.
Memang, jika merujuk pada sejarah tidak sedikit catatan kelam ditorehkan Presiden kedua RI ini. Apalagi jika berbicara masalah Hak Azasi Manusia (HAM) dan kasus korupsi.
Hal inilah yang membuat banyaknya masyarakat yang menyatakan kontra dalam upaya pengesahan Soeharto menjadi pahlawan nasional. Bahkan tidak sedikit yang menilai buruk atas kinerja dan kepemimpinan Soeharto.
Kompasianer Yunita bahkan menilai bahwa penetapan pahlawan nasional ini hanya sebuah penilaian subjektif dari partai pendukung Soeharto yaitu Golkar.
"Penetapan pahlawan itu hanya penilaian subjektif dari golkar," tulisnya singkat. Dukungan senada juga dilontarkan oleh Hariyanto Aji, ia menuliskan pahlawan adalah gelar terhormat dan kurang pas apabila diberikan pada orang yang memiliki banyak dosa di masa lalu.
Tentu saja jika berbicara masalah Soeharto, para aktivis 1998 akan ikut angkat bicara. Seperti dalam polemik pencalonan pahlawan nasional ini, Panel Barus salah satu aktivis 98 mengatakan pemberian gelar ini sangat tidak tepat. Menurut Panel, gelar pahlawan tidak dapat diberikan karena Soeharto masih memiliki catatan merah yang belum terselesaikan hingga saat ini.
"Disebut pahlawan itu kan yang berjasa. Yang Soeharto lakukan, membangun Indonesia dengan utang yang kemudian di 1997 ekonomi Indonesia hancur," ujar Panel sebagaimana diberitakan Kompas.com.
Selain itu, Panel menilai Soeharto merupakan pemimpin diktator selama 32 tahun menjadi presiden. Panel juga menuding Soeharto masih tersangkut dugaan keterlibatan dalam kasus pelanggaran berat HAM di Dusun Talangsari III, Desa Rajabasa Lama, Lampung Timur, pada 1989.
"Peristiwa Talangsari dan lainnya, mana tanggung jawabnya itu? Pernah diadili?" kata dia.
Dalam kehidupan demokrasi yang telah berjalan saat ini, memang wacana pemberian gelar pahlawan nasional bisa ditanggapi dengan leluasa oleh siapapun termasuk masyarakat. Sentimen positif atau negatif tidak menjadi masalah asalkan kita bisa mempertahankan dan mempertanggung jawabkan argumen tersebut. Jadi, menurut Anda, apakah Soeharto layak menjadi pahlawan nasional? (YUD)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H