Mohon tunggu...
Kompasiana
Kompasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Akun Resmi

Akun resmi untuk informasi, pengumuman, dan segala hal terkait Kompasiana. Email: kompasiana@kompasiana.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Polemik Pemberedelan Buku Komunisme dalam Sudut Pandang Kompasianer

26 Mei 2016   11:36 Diperbarui: 31 Mei 2016   08:40 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Paham komunisme sejatinya telah dieksekusi mati pada 1966 silam. Eksekusi ini dilakukan pemerintah melalui TAP MPRS XXV/1966 yang berisi pelarangan keberadaan komunisme di Indonesia. Sejak saat itu pula maka secara sah Partai Komunis Indonesia (PKI) dinyatakan ilegal.

Beberapa waktu lalu publik diramaikan akan ketakutan bangkitnya komunisme di Indonesia. Atas ketakutan ini kemudian banyak pihak menunjukkan sikap reaktif. LSM, pemerintah, bahkan hingga aparat menunjukkan sikap serupa.

Mereka melakukan pencegahan dengan memberantas semua hal berbau PKI. Bahkan sebuah kaus band metal dengan logo menyerupai palu arit pun menjadi masalah. Kepolisian kemudian mengamankan penjual dan kaus dagangannya tersebut karena dianggap bersentuhan dengan paham komunisme.

Bahkan satu wacana yang mengejutkan muncul yaitu kabar aparat akan memberangus buku-buku kiri atau buku bermuatan ideologi Karl Marx. Pemberangusan ini dianggap dapat mencegah reinkarnasi paham komunisme di Indonesia.

Tentu saja kemudian polemik mencuat. Memberedel buku-buku berbau komunisme dianggap sebagai tindakan berlebihan bahkan ada juga yang menganggap bukan solusi terbaik untuk mencegah munculnya kembali PKI.

Karena itulah Kompasiana membuat jajak pendapat mengenai polemik ini dengan melontarkan argumen "Buku berbau komunisme harus diberedel." Hasil jajak pendapat ini sebanyak 4 Kompasianer mengatakan pro dan 12 Kompasianer menyatakan kontra.

Salah satu Kompasianer yang menyatakan pro adalah Ade Rachmat Fikri. Dalam kolom Pro ia mengatakan bahwa TAP MPRS tahun 1966 memiliki kekuatan hukum yang tidak bisa diganggun gugat. Sehingga apapun yang berbau dengan komunisme harus ditindak karena ilegal.

"Cukup sederhana TAP MRPS 66 masih ada, itu jelas kepastian hukumnya ilegal, jadi apapun alasannya tetap ilegal," tulis Ade.

Pernyataan Ade memang tidak salah. Ada peraturan yang menyatakan hal tersebut. Isi dari TAP MPRS XXV/1966 adalah pernyataan pembubaran PKI, pernyataan sebagai organisasi terlarang bagi PKI dan larangan kegiatan untuk menyebarkan atau membangkitkan paham ajaran komunisme, leninisme dan marxisme.

Selain itu masih ada peraturan lainnya. Undang-undang Nomoe 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Pasal 107 KUHP. Bahkan menyikapi hal ini, Kapolri Badrodin Haiti mengatakan pihak kepolisian akan menjalankan sesuai peraturan.

"Peraturan kita menyatakan demikian. Kami (polisi) tinggal menjalankan saja," ujar Badrodin, di Istana Negara, Jakarta, Rabu (11/5/2016). Dikutip dari Kompas.com.

Polisi, lanjut Badrodin, melakukan penindakan tanpa menunggu adanya laporan karena merupakan delik pidana umum.

Ia mengatakan, mereka yang akan ditindak adalah, semua yang menampilkan konten Komunisme, Leninisme, dan Marxisme di hadapan publik. Konten yang dimaksud, di antaranya, buku, kaus, aksesoris, unggahan di media sosial, film hingga diskusi.

Selain Ade, Kompasianer lainnya yang mendukung pemberangusan buku kiri ini adalah Bang Pilot. Senada dengan Ade menurutnya ketetapan MPR tahun 1966 telah memastikan bahwa segala hal berbau komunis harus dilarang.

"Setuju! Semua yang berbau komunis harus dihilangkan dari bumi pertiwi. Komunis tak perlu dipelajari, hanya perlu untuk diperangi. Sudah cukup derita anak bangsa ini akibat jahatnya faham komunis," tulisnya.

Merujuk pada sejarah, memang kisah kelam tergores dalam cerita hubungan antara PKI dan bangsa Indonesia. Beberapa tragedi buruk terukir, dan yang paling membekas adalah peristiwa Gerakan 30 September PKI. Kala itu PKI menculik sejumlah jenderal dan mengeksekusi mati.

Kendati demikian tidak sedikit yang menilai bahwa pelarangan buku berbau komunisme hanya sebagai bentuk ketakutan yang tidak beralasan. Banyak pihak mengatakan, buku-buku seperti ini tidak perlu dihentikan peredarannya karena di sisi lain, masyarakat harus tahu mengenai seluk beluk komunisme agar mereka tidak terjerumus ke dalamnya.

Salah satunya adalah Ade Hermawan. Ia bahkan mengatakan bahwa kisah kelam komunis di masa lalu bukan berarti pengetahuan tentang komunis sebagai kekayaan intelektual harus dihilangkan. Menurutnya akan sangat sulit membandingkan hal yang benar dan salah jika tidak ada contoh, dan buku kiri adalah salah satu sumber contoh yang baik.

"Kekayaan intelektual yang menjadi bagian sejarah dunia kok diberangus? Komunis memang tidak cocok dalam negara pancasila namun bukan berarti pengetahuan tentang komunis sebagai kekayaan intelektual dapat dihilangkan. Bagaimana kita dapat membandingkan suatu hal benar/salah. baik/buruk cocok/tidak manakala kita hanya memiliki 1 hal saja," tulis Ade.

Selain Ade, Kompasianer lainnya yang mengatakan kontra adalah Agung Setiawan. Agung menilai dalam tindakan pemberangusan ini ada sebuah kecenderungan menghakimi tanpa tahu siapa yang dihakimi. Dan tentu saja hal seperti ini tidak bisa diterima.

"Saya melihat kecenderungan kita adalah menghakimi tanpa tahu apa yang dihakimi. Menolak tanpa tahu apa yang ditolak. Menerima tanpa tahu apa yang diterima. Pada titik terparah, hidup tanpa tahu hidup itu apa dan untuk apa!" tulis Agung.

Memang bukan hanya Kompasianer yang menolak pemberangusan seperti ini. Duta Baca Nasional, Najwa Shihab juga turut berkomentar mengenai pelarangan buku bermuatan komunisme ini. Najwa mengaku sangat tidak setuju dengan pelarangan tersebut.

"Saya memahami sensitifitas terkait isu komunisme. Tapi menurut saya pelarangan buku apapun tidak bisa dibenarkan," ujar Najwa usai peluncuran aplikasi iJakarta di Balai Kota DKI, Jalan Medan Merdeka Selatan, Selasa (17/5/2016) dikutip dari Kompas.com

Ia menambahkan, tindakan pelarangan ini adalah keliru dan hanya sia-sia. Di tengah perkembangan era digital, informasi tentu bisa didapat dari mana saja. Internet menyediakan informasi yang beragam dengan berbagai sudut pandang.

"Maka melarang buku itu mubazir akut. Dan di tengah minat baca kita yang masih sedemikian rendah, pelarangan buku adalah sebuah kemunduran," ujar Najwa.

Tentu saja, isu paham komunisme atau tentang PKI adalah pembahasan yang sangat sensitif di bumi pertiwi ini. Kisah kelam pasti tidak akan bisa dilupakan dan imbasnya, sebuah trauma mendalam muncul dalam benak. Namun meski menyisakan cerita kelam, apakah pemberangusan seperti ini harus dilakukan? (YUD)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun