Waisak merupakan hari suci agama Buddha. Merajuk pada Wikipedia, Waisak dirayakan untuk memeringati 3 peristiwa penting yaitu; Lahirnya Pangeran Siddharta, Pangeran Siddharta mencapai Penerangan Agung dan menjadi Buddha, serta wafatnya Buddha Gautama. Tiga peristiwa ini kemudian dinamakan Trisuci Waisak.
Pada tahun 2016 ini, Hari Raya Waisak bertepatan pada tanggal 22 Mei kemarin. Tentu saja umat Buddha merayakan hari besarnya ini dengan khusyuk. Di beberapa daerah seperti Yogyakarta dan Magelang, perayaan Hari Waisak berlangsung meriah dan khidmat.
Dari tahun ke tahun, tentu perayaan Waisak ini memiliki cerita yang berbeda-beda. Oleh karena itu kami mencoba merangkum beberapa artikel Kompasianer tentang perayaan Hari Raya Waisak dari tahun ke tahun. Berikut ini adalah 5 artikel reportase Kompasianer tentang cerita di balik perayaan Waisak.
1. Cerita di Balik Menikmati Waisak 2012 di Borobudur
Gilang Rahmawati menceritakan kondisi perayaan Waisak saat itu dalam artikelnya. Ia melihat Gong khusus ditabuh tiga kali oleh Biksu Wongsin Labhiko Mahathera didampingi Biksu Tadisa Paramita Mahasthavira di depan altar dengan patung Sang Buddha Gautama di tengahnya. Saat itulah dimulai segala prosesi perayaan, dimulai dengan meditasi detik-detik Waisak 2012.
Tampak umat Buddha bersama para biksu memasuki keheningan bersama. Mereka duduk bersila, dengan sikap badan tegak menjalani apa yang dibilang meditasi tersebut. Mereka larut dalam suasana tenang, memusatkan fikiran, hingga pada tahta puncak perayaan Tri Suci Waisak 2012. Siang itu begitu terik, banyak warga yang tampak antusias menyaksikan prosesi tersebut.
Kemudian ada juga arak-arakan yang berlangsun dalam prosesi ini. Namun pada saat arak-arakan tersebut berjalan, hujan mengguyur di wilayah Magelang. Sekitar pukul 13.00 WIB, sampai di depan Hotel Pondok Tingal sekitar pukul 14.00 WIB hujan deras. Tetapi, hal ini tidak menjadikan arak-arakan tersebut terhenti.
Gilang menyajikan reportasenya dan dilengkapi dengan foto-foto yang apik. Untuk lebih lengkap, Anda bisa membacanya pada artikel terkait.
2. Kekacauan Perayaan Hari Raya Waisak di Candi Borobudur
Pada perayaan tahun 2013 lalu, Gracia B menceritakan ada sedikit kekacauan dalam perayaan Hari Waisak. Magelang-- seperti tahun-tahun sebelumnya, perayaan Waisak di Candi Borobudur tahun 2013 ini menarik banyak wisatawan. Sayangnya, kesakralan hari suci umat Budha ini menjadi ternodai karenanya.
Pukul 17.00 WIB, para biksu dari majelis-majelis yang sudah dua hari melakukan prosesi Waisak dari Candi Mendut ke Candi Borobudur sudah berkumpul di panggung pelataran. Hujan rintik-rintik turun, membuat para turis mengembangkan payungnya selama menunggu acara dimulai.
Hingga pukul 19.00, acara masih belum juga dimulai, padahal para biksu dan biksuni sudah berkumpul di panggung, siap untuk memanjatkan doa bersama. Hujan turun semakin deras, membuat pengunjung semakin resah.
Ternyata Suryadharma Ali yang kala itu menjabat sebagai Menteri Agama terlambat datang. Kejadian lebih ricuh lagi terjadi saat ritual Pradaksina, yaitu ritual para biksu mengelilingi Candi Borobudur sebanyak tiga kali. Pengunjung semakin mendekat ke arah biksu, mencoba mengikuti mereka melakukan Pradaksina.
Waisak yang seharusnya menjadi momen sakral ibadah umat Buddha justru sebaliknya. Perayaan Waisak 2013 lalu mengalami sedikit kekacauan. Umat Buddha tidak dapat beribadah dengan tenang lantaran para turis penasaran menunggu pelepasan lampion yang perhelatannya diadakan berbarengan.
3. Waisak dan Persoalan yang Tak Kunjung Usai
Dahulu menjelang Waisak, banyak Bhiksu-bhiksu yang berlalu lalang di Muntilan dan Magelang. Penduduk desa juga secara sukarela menyediakan rumahnya untuk menginap bhiksu dan umat budha lainnya.
Masyarakat sekitar Borobudur turut menyambut saudara-saudaranya yang ingin merayakan hari rayanya. Bahkan ada sinkronisasi Budaya dalam rangkaian acara, ada semacam pengobatan gratis dari Walubi adalah semacam ucapan terima kasih kepada penduduk sekitar Borobudur yang sudah menyambut mereka.
Tapi itu dulu, sekarang judulnya lain lagi. Waisak sudah bergeser menjadi pertunjukan wisata dan kemudian lambat laun menjadi objek turisme, turisme yang sekarang menggejala tak terkendali dan liar.
Pengunjung yang bisa memaknai dengan benar apa arti Waisyak dan tak sekadar hanya terpikat dengan ritual di ujung berupa pelepasan lampion. Bukan sekedar pengunjung yang haha-hihi jepret kanan jepret kiri. Beberapa kali sebenarnya Farchan melakukan counter opinion untuk mengingatkan bahwa Waisak adalah perayaan ritual keagamaan, tapi tampaknya tak ada hasilnya, tenggelam dalam antusiasme perayaan Waisak yang hanya dimaknai dari pelepasan lampion.
Waisak adalah hari raya agama, Waisak adalah waktu di mana umat Budha beribadah. Mengganggu hak beribadah mereka berarti anda melanggar hak asasi. Untuk permisalan ketika seorang muslim, jika sedang sholat, disenggol sedikit saja konsentrasi buyar, lha ini difoto dengan flash, banyak lagi flashnya. Bagi yang sudah mengerti harus turut mengingatkan yang belum mengerti.
4. Di Balik Indahnya Perayaan Lampion Waisak 2015, Taman Menjadi Korban
Imam Uddin Hanief menjadi salah satu saksi perayaan ini. Mulai dari prosesi awal berkumpul di Candi Mendut, dan dilanjutkan berjalan menuju Borobudur hanya bisa diikuti oleh umat Buddha dan para undangan.
Bukan cuma itu, akhir acara yang dinanti-nantikan semua orang, yakni pelepasan lampion, malah menjadi menjadi momen paling rusuh dan memalukan. Lokasi pelepasan lampion sebenarnya sudah terpasang tali pembatas berjarak lima meter.
Tapi hasrat untuk melihat lampion dari dekat membuat beberapa pengunjung menerobos hingga mendekati satu meter dari lokasi pelepasan lampion. Kejadian ini membuat panitia kewalahan menertibkan pengunjung.
Banyak tanaman yang diinjak oleh para pengunjung demi melihat lebih dekat. Beberapa kali MC acara dan biksu juga meminta pengunjung sedikit mundur agar acara bisa berjalan dengan lancar. Tapi tetap saja pengunjung itu bandel, mundur sebentar kemudian kembali lagi saat peringatan sudah tidak diumumkan. Anda bisa melihat reportase berikut foto-foto kejadian tersebut dalam artikel Imam Uddin ini.
5. Waisak dan Euforia Lampion Borobudur
Penerbangan 5000 lampion itu memang membuat bulu kuduk berdiri, karena suasana sakral, pemandangan indah (secara di bawah bulan purnama, kalau tidak hujan ) dan romantis (bagi turis-turis alay) bercampur jadi satu. Suasana inilah yang rasanya diburu oleh turis maupun umat.
Senjata yang wajib dibawa dalam penerbangan 5000 lampion ini tentu saja adalah telepon pintar untuk check-in di Path atau post di Instagram agar semua dunia tahu Anda sedang berada di Borobudur dan sedang menerbangkan lampion. Jadi antara ingin eksis dan spiritualitas hanya dibatasi kertas minyak.
Bagaimanapun, sisi lain dari fenomena lampion ini adalah bahwa hari Waisak dapat menyatukan pengunjung yang berbeda-beda keyakinan. Untuk satu hari kemarin dan dini hari, tercipta toleransi dan saling menghormati perbedaan keyakinan di tengah-tengah maraknya isu SARA yang belakangan berkembang (entah dikembangkan atau berkembang sendiri). Semoga keadaan hormat-menghormati ini dapat terus berlangsung.
----
Itulah beberapa reportase yang direkam oleh Kompasianer dalam merayakan Hari Raya Waisak dari tahun ke tahun. Selamat Hari Waisak untuk Kompasianer yang merayakan. :D (YUD)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H