Ilustrasi game online. sumber: digitaltrends.com
KPAI beberapa waktu lalu merilis 15 daftar nama game yang direkomendasikan untuk dilakukan pemblokiran. Kebijakan ini muncul dengan tujuan menghindarkan anak-anak dari konten berbau kekerasan.
Namun wacana kebijakan ini kemudian mengundang berbagai reaksi. Para penggemar video game mengatakan bahwa kebijakan yang diambil KPAI tidaklah tepat. Karena tindakan pemblokiran game ini hanya melihat dari satu sudut pandang dan tidak memperhatikan sisi positif dari game itu sendiri.
Tapi tidak sedikit juga yang mendukung KPAI untuk merekomendasikan pemblokiran ini pada lembaga yang berwenang seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Puncaknya adalah ketika situs resmi KPAI diretas. Aksi peretasan ini dianggap sebagai bentuk protes atas kebijakan yang dianggap terlalu dini untuk dilontarkan. Melihat polemik ini, Kompasiana juga kemudian mengajak Kompasianer untuk menyuarakan pendapatnya tentang pemblokiran video game online. Dan berikut ini adalah 3 pandangan mengenai tindakan KPAI yang "mengharamkan" video game online di Indonesia.
1. Blokir-blokir "Demi Anak2" Bukan Solusi, Ini Solusinya!
Ada banyak anak kecil yang menonton film dewasa di bioskop. Bahkan tidak sedikit anak-anak yang sudah merasakan asap rokok dan minuman keras. Kondisi ini disoroti oleh Yuma Setiawan dan kemudian ia mempertanyakan keefektifan pemblokiran konten yang dilakukan oleh beberapa lembaga.
Menurutnya, cara memblokir konten negatif yang lebih efektif bukanlah dengan menghilangkan konten tersebut dari peredaran. Namun dengan menanamkan sugesti pada otak anak bahwa "jangan pernah melakukan hal itu".
Ia juga kemudian mengaitkan dengan program Revolusi Mental. Bukan revolusi mental yang didapat jika pola pikir seperti ini masih ada. Yang ada adalah "mempertahankan mental." Revolusi mental seharusnya dapat mengubah sifat anak-anak untuk tidak melakukan hal yang salah.
Jika revolusi seperti itu terjadi maka tidak perlu lagi ada rasa cemas atau takut. Mental anak-anak kemudian akan paham jika hal negatif yang mereka lihat sangat tidak layak untuk ditiru.
Yuma juga memberi usulan solusi lain yaitu dengan membuat sebuah denda bagi warnet atau tempat lain yang mengizinkan anak di bawah umur bermain video game online. Bahkan menurutnya sistem denda seperti ini akan membuat jera para penyedia jasa internet yang minim pengawasan.