Ki Hajar Dewantara. Sumber: citizennews.id
Setiap tanggal 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Pada hari inilah saat yang tepat untuk kembali berkaca, apakah sistem pendidikan di Indonesia sudah layak atau tidak.
Sistem pendidikan dalam hal ini bukan hanya metode, cara pengajaran hingga kurikulum. Tapi termasuk juga infrastruktur, tenaga pendidik serta sumber daya lainnya untuk meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia.
Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) diperingati bertepatan dengan hari kelahiran Ki Hadjar Dewantara, yang didaulat sebagai pahlamwan nasional dan dihormati sebagai Bapak Pendidikan Nasional di Indonesia.
Hari Pendidikan Nasional ini tentu menjadi momentum tepat untuk mengevaluasi pendidikan di Indonesia. Tentu saja berbagai pandangan muncul soal kondisi dan iklim pendidikan di negeri ini. Dan untuk sedikit menelisik bagaimana kondisi sistem pendidikan di Indonesia, inilah 7 artikel Kompasianer terpilih dalam menyambut Hari Pendidikan Nasional.
1. Menilik Perjuangan Pendidik yang Bukan PNS
Salah satu rekan dari Achmad Saifullah Syahid adalah seorang pendidik. Bukan PNS, lantaran setiap kali Achmad menawarkan untuk mengikuti tes sebagai calon PNS, rekannya selalu menolak.
Memang saat ini jika dilihat, dorongan untuk menjadi seorang PNS semakin kencang. Status sosial yang lumayan mentereng di masyarakat serta jaminan hidup masa depan yang tidak perlu diragukan membuat siapa saja ingin menjadi PNS.
Namun berbeda dengan rekannya ini. Sejak tahun 1992 ia melempar diri ke dusun terpencil di Kabupaten Malang Selatan. Di sana, ia mengajar, mendedikasikan diri untuk masyarakat lokal.
Melihat pendidikan yang tidak merata di tempat itu, ia kemudian merintis taman kanak-kanak. Rekan dari Achmad ini memang "gagal" menjadi seorang PNS, tapi ia tidak gaal menjadi seorang pendidik.
2. Pendidikan Maritim untuk Anak Muda
Sejak awal reformasi, pemerintah sebenarnya sudah menggadang-gadang pembangunan maritim. Memang, tidak heran karena Indonesia sendiri adalah negara kepulauan dan tentu dengan kawasan maritim yang sangat luas.
Oleh karena itu pendidikan maritim yang dimaksud tidak hanya untuk menyediakan tenaga kerja terampil atau mencetak buruh untuk mengisi lapangan pekerjaan di sektor kelautan dan perikanan.
Menurut Kompasianer Anak Laut, pendidikan martim untuk anak muda harus ddirencanakan secara strategis dan jangka panjang. Karena membangun karakter sebuah bangsa tentu jauh lebih sulit dari pada membangun gedung pencakar langit.
Potensi Indonesia dari segi geografis serta kekuatan maritim adalah warisan yang tidak bisa diingkari. Oleh karena itu sangat penting untuk membentuk jati diri melalui pendidikan maritim untuk anak muda.
Menjadikan aspek pendidikan maritim untuk anak muda sebagai prioritas sebenarnya merupakan investasi besar bagi negara untuk beberapa dekade mendatang
3. Pendidikan yang Paling Utama adalah Moralitas
Manusia diberi pendidikan adalah agar manusia dapat berpikir, memiliki kecerdasan sekaligus berperilaku yang baik. Sehingga, dapat mengapresiasi setiap perilakunya sesuai dengan hasil pendidikan yang diperoleh.
Berpikir dan berperilaku merupakan hasil dari upaya sebuah pendidikan yang diterapkan. Itulah yang diungkapkan Syahirul Alim. Menurutnya, dari sekian banyak pendidikan yang diperoleh, pendidikan pada tataran moralitas seringkali luput dari kurikulum pendidikan kita.
Bahkan beberapa tahun belakangan banyak sekali kasus yang melibatan pelajar. seperti tawuran, dll. Saat ini kita dimanjakan oleh pendidikan yang serba instan, hanya berpikir simplistik yang penting bisa sekolah dan sekolah tujuannya untuk kerja sehingga bisa memenuhi kebutuhan hidup secara layak.
Padahal pentingnya pendidikan moral di Indonesia bahkan telah termaktub dalam UUD 1945 Pasal 31 ayat 3 hasil amandemen. Dunia pendidikan kita tampaknya masih kurang memperhatikan sisi etika atau moral tetapi lebih mengedepankan keterampilan yang bersumber dari kecerdasan berpikir.
Padahal, pendidikan yang meningkatkan kecerdasan dan moralitas merupakan dua hal yang berjalin berkelindan tak bisa dipisahkan.
4. Hardiknas, Hani dan Sekolah Anak Berkebutuhan Khusus
Sesuai dengan sebutannya, anak berkebutuhan khusus memang membutuhkan penanganan khusus agar anak bisa terus belajar dan berkembang. Tentu saja untuk itu dibutuhkan juga sekolah yang mampu memberikan pelayanan terbaik pada anak-anak ini.
Gapey Sandy menuliskan reportasenya kala merayakan Hardiknas di salah satu sekolah berkebutuhan khusus di kawasan Tangerang Selatan, Banten.
Sekolah Kebutuhan Khusus (SKh) Sahabat Kita telah berlangsung selama tiga tahun. Murid-murid di sekolah ini berasal dari leingkungan sekitar. Berdasarkan laporan Gapey, kebanyakan anak-anak adalah penderita autisme, mood disorders, tunarungu, cerebral palsy atau kelumpuhan otak besar yang berakibat pada buruknya pengendalian/kekakuan otot, juga down syndrome yang merupakan kelainan genetik sehingga berakibat pada keterbelakangan fisik dan mental
Di sekolah, guru-guru SKh ‘Sahabat Kita’ menerapkan dua program: Class Programme dan Individual Programme. Untuk program kelas lebih ditujukan kepada upaya membangun kemandirian mereka. Misalnya, mencuci piring bersama, memakai kaos kaki bersama, berwudhu bersama, sholat bersama dan sebagainya.
Sedangkan Individual Programme dilaksanakan karena setiap anak punya kurikulum sendiri-sendiri. Harapan kedepan, SKh ‘Sahabat Kita’ dapat semakin melengkapi piranti atau media pembelajarannya.
5. Pil Pahit Hari Pendidikan Nasional
Hari Pendidikan Nasional tahun 2016 ini terasa pahit. Ya, pada hari tersebut bukan berita positif yang marak beredar di media, namun berita negatif tentang kejadian yang melibatkan institusi pendidikan dan peserta didik.
Ada beberapa kasus yang menyeruak. Pertama, adalah soal pembunuhan dosen oleh mahasiswa kependidikan. Menurut Susy Haryawan ini adalah ironi. Bagaimana mahasiswa calon guru membunuh gurunya hanya karena alasan sering ditegur soal kedisiplinan.
Kedua, kasus pemerkosaan dan pembunuhan siswi. Anak sekolah, siswa, dan generasi muda yang menjadi korban kebejatan sesamanya. Ketiga lagi-lagi soal pembunuhan. Seorang jenazah mahasiswi ditemukan di kampusnya. Ironis bahwa tempat pendidikan yang harusnya menjadi tempat mengembangkan ilmu malah jadi tempat menyembunyikan jenazah.
Lalu apa yang bisa kita pelajari dari hal ini?
Pertama,dunia pendidikan selama ini telah abai dan menjadi alat kekuasaan dengan berbagai pertimbangan. Kedua, pendidikan karakter masih jauh dari harapan. Ketiga,nilai adalah tujuan akhir, 90, sedangkan soal pengahyatan nol tidak masalah.
Keempat, universitas banyak yang memanfaatkan booming soal sertifikasi guru, sehingga peminat jurusan keguruan sangat banyak. Kelima, kekerasan terhadap perempuan, menjadi persoalan yang akan berulang ketika belum diselesaikan dengan jujur dan tuntas. Keenam, mendesak adanya pendidikan seksualitas anak. Ketujuh,test psikologi bukan hanya abal-abal atau formalitas, namun sungguh-sungguh.
----
Itulah beberapa artikel terkait pandangan masing-masing Kompasianer tentang Hari Pendidikan Nasional yang diperingati pada 2 Mei lalu. (YUD)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H