Mohon tunggu...
Kompasiana
Kompasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Akun Resmi

Akun resmi untuk informasi, pengumuman, dan segala hal terkait Kompasiana. Email: kompasiana@kompasiana.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

7 Opini Menelisik Kasus Kematian Mirna

21 Februari 2016   23:00 Diperbarui: 23 Februari 2016   00:42 3369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Munir yang sejak muda langkah keberaniannya terbentuk dari kehidupan di pasar (menunggui kios sepatu milik keluarga) memang menjadikan orang yang ada di dalamnya hidup dalam tekanan, struggle dan sikap tak boleh menyerah.

Untuk urusan berkelahi pun, Munir pantang untuk mundur. Bersedia berkelahi dengan siapa saja yang menurutnya pantas untuk dilawan. Berani membela orang lain yang ditindas walaupun ia tak mengenalnya.

Jalan kehidupan Munir memang tampak berbeda dengan Mirna, korban yang meneguk kopi Vietnam, namun muara hidupnya nyaris sama yang terbunuh dalam bingkai kisah dengan zat kimia mematikan. 

[caption caption="Shutterstock / Ilustrasi racun."]

[/caption]

7. Sianida Kata-kata

Hingga kini cerita utuh mengenai pembunuhan Mirna itu masih belum tuntas. Pemberitaannya pun demikian masif. Terkadang kata-kata seseorang yang masih diragukan kebenarannya mendapatkan publikasi layak sehingga tak dapat dibedakan lagi mana fakta, mana opini. Alhasil, cerita yang beredar di masyarakat menjadi simpang siur tak karuan.

Dalam tulisannya di laman Kompasiana, Yumei Sulistyo ingin menyampaikan  bagaimana menyikapi sesuatu di era informasi tanpa batas ini. Dalam kondisi gonjang-ganjing informasi, kebenaran yang absurd masuk ke dalam otak manusia tanpa disadari. Hingga tanpa disadari otak selalu memilih jalan termulus dan lebih mudah, percaya dengan apa yang terpublikasikan.

Yumei mengungkapkan, rangkaian kata memang bersifat netral. Tapi, kata-kata bisa menjadi obat atau racun, tergantung niat orang yang menggunakannya. Seperti juga ilmu kimia, yang dapat dimanfaatkan dalam bidang kesehatan atau malah bisa membunuh manusia.

Tentu kita berharap, agar sianida tak berubah wujud dalam rupa kasat mata dalam bentuk rangkaian kata dan berita yang beredar, yang mampu menghilangkan kejernihan jiwa untuk berpikir dalam menerima segala infomasi.

[caption caption="Dian Ardiahanni/Kompas.com Dermawan Salihin, Ayah Wayan Mirna Salihin (27) di Mapolda Metro Jaya, Jakarta pada Kamis (28/1/2016)."]

[/caption]Tanda tanya kian seolah tak terelakkan. Menanti menyusut dalam riuhnya Kopi Sianida yang mendebarkan. Keadilan pun menunggu fajar untuk ditegakkan, seirama dengan hati jernih memasok rupa berita pembunuhan yang hingga kini terus melaju melawan kekusutan. (KOB)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun