Mohon tunggu...
Kompasiana
Kompasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Akun Resmi

Akun resmi untuk informasi, pengumuman, dan segala hal terkait Kompasiana. Email: kompasiana@kompasiana.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Kilau Emas Papua dan "Tangan Panjang" Kontrak Freeport

17 Januari 2016   12:28 Diperbarui: 17 Januari 2016   13:39 874
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="KOMPAS/AGUS SUSANTO Jalan menuju kegiatan operasi pertambangan bawah tanah PT Freeport Indonesia di Timika, Papua, beberapa waktu lalu."][/caption]Kisah "gunung emas" di Papua belum jua usai. Kemilaunya tak hanya menyoal kerukan bijih tembaga, emas dan perak yang dilansir hingga penjuru dunia.

Geliatnya tak sekadar terpatri pada eksplorasi kekayaan yang tersimpan di punggung tanah Papua, tetapi juga mengundang kisah sarat kuasa dan politik yang sempat menggema. Renegosiasi hingga pundi-pundi kontrak kini memilin batas-batas revisi.

Berikut ini tujuh limpahan opini Kompasianer yang mengulas perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia:

1. Cerita Sedikit Soal Multinasional
Mari mengenal yang dimaksud dengan multinasional. Belakangan ini mata telinga emosi tercurah melihat permainan saham divestasi Freeport. 

Webe memulai dengan analogi bahwa ia bermula dari bukan apa-apa. Berubah jadi telur, menetas dan jadilah ia memiliki hidup individu sebagai seekor anak ayam. Kehidupan tak hanya memberinya kaki yang mampu berjalan dan menjelajah bumi mencari makan, tetapi juga memberi pengetahuan baru tentang segala sesuatu yang berbeda dan maha luas seperti tak berbatas.

Ayam itu bernama Multinasional. Ia menyeberangi tepi batas disiplin ilmu semudah menyeberangi tapal batas kandang (baca: nasional). Persoalan yang sesungguhnya bahwa orang-orang yang mengelola Multinasional (global corporations) adalah orang pertama dalam sejarah yang memiliki organisasi, teknologi, uang, dan ideologi untuk mencoba mengelola dunia sebagai satu kesatuan terpadu.

[caption caption="KOMPAS/B JOSIE SUSILO HARDIANTO Areal tambang terbuka PT Freeport Indonesia di Grasberg, Timika, Papua, tampak sepi, Kamis (24/11/2011). Manajemen PT Freeport Indonesia menghentikan aktivitas produksi menyusul aksi penjarahan dan perusakan pipa konsentrat yang terjadi sejak akhir Oktober hingga pertengahan November ini."]

[/caption]

2. “Proyek Centeng” dan Politik Pecah Belah Freeport
Menyikapi pembocoran transkrip rekaman pembicaraan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto (SN) dengan CEO PT Freeport Indonesia (PTFI), menurut Muhammad Ridwan, Bangsa Indonesia harus hati-hati. 

Tampaknya PTFI sedang menjalankan politik “memecah ombak”. Di sinilah Bangsa Indonesia harus “awas” dan “waspada”. Jangan sampai terjebak dengan politik “pecah belah” PTFI. Pihak eksekutif dan legislatif harus tetap bersatu, jangan terpecah konsentrasinya menyikapi rencana perpanjangan KK PTFI.

3. #3 Freport… Apa Bikin Repot?
Kompasianer dengan akun Indonesianist yang pernah meniti bidang ilmu teknik pertambangan dan  bergelut di dunia tambang ini tidak ingin memfokuskan pada kasus “ngemis saham” yang sempat hangat dan mengemuka. Tapi, lebih ke arah  wawasan terkait Freeport dan rangkaian peristiwa penting di republik ini dan berujung pada saran yang ditujukan bagi pemerintah terkait penanganan Kontrak Karya Freeport ke depan.

Dengan semakin dekatnya akhir dari Kontrak Karya Freeport 2021, pemerintah mengambil langkah yang tepat dan bijaksana mengenai urusan ini. Jika berpikir idealis, ya akhiri saja lalu kelola sendiri. Tapi kita juga harus realistis, apakah benar-benar siap mengelola Freeport, apalagi jika pengelolanya BUMN. Coba tinjau dulu, ada tidak pengalaman masa lalu yang bisa dijadikan pelajaran.

Kalau memang akan diteruskan, posisi tawar Pemerintah harus betul-betul kuat. Jangan sampai itu terjadi karena intervensi dari Pemerintah Amerika Serikat. Pokoknya harus menempatkan Freeport hanya sekadar calon kontraktor pemerintah. Banyak point yang harusnya bisa dinegosiasikan baik terkait penerimaan negara, tanggung jawab sosial & lingkungan, local content dll.

[caption caption="KOMPAS/B JOSIE SUSILO HARDIANTO Proses flotasi atau pengapungan mineral tambang, seperti tembaga, emas, dan perak. Proses itu dilakukan untuk memperoleh konsentrat yang terdiri dari tembaga, emas, dan perak. Konsentrat itu kemudian dialirkan ke Pelabuhan Amamapare, dikeringkan, dan kemudian dikirim ke pabrik-pabrik pengecoran."]

[/caption]

4. Satru Munggweng Cangklakan
Sebagai rakyat kecil yang sangat merasakan dampak dari pengurasan dan pengrusakan sumber daya alam tersebut, Pak Dhe Sakimun sangat setuju bila Freeport hengkang dari Indonesia.

Tak hanya Freeport, apapun atau dari negara manapun berasal, perusahaan yang hanya ingin mengeruk keuntungan dari bumi nusantara ini harus segera angkat kaki. Namun, ia mengingatkan, bahwa mengusir Freeport tidak seperti nggitik kirik, dengan diacungi lidi sambil teriak haiss...haiss..hais..cek.., lalu kiriknya ngacir tunggang langgang. Semua ada tata kramanya, ada aturannya, dan ada undang-undangnya. 

Kembali pada judul di atas. "Satru Munggweng Cangklakan" atau "Musuh Dalam Selimut" ini, Pak Dhe mengajak kita untuk tak boleh hanya lantang berteriak-teriak mengusir musuh dari luar, tapi kita abai terhadap musuh yang ada di sekitar kita yang mungkin lebih jahat dan lebih rakus dari Freeport.

Tanpa sebut merk, kita tentu tahu apa dan siapa musuh yang lebih jahat itu.

5."Silent Operation" di Balik Rencana Pembentukan Pansus Freeport

Kompasianer yang giat menulis soal politik dan hukum ini tak mau ambil diam. Gagasan dan opini yang dirangkai tak kuasa untuk disematkan dalam salah satu kronologi ruang opini soal kontrak PT Freeport Indonesia.

Ricky Vinando mencermati, beberapa fraksi di DPR berencana akan membentuk pansus Freeport terkait kasus ‘’Papa Minta Saham’’. Fraksi-fraksi tersebut antara lain, Golkar, PDIP, PAN, PKS, Nasdem hingga Gerindra pun mendukung dibentuknya pansus Freeport. Bahkan Golkar melalui Ketua Umum Golkar versi Munas Bali, Aburizal Bakrie mendukung penuh rencana pembentukan pansus Freeport yang tak lain tujuannya untuk mencari duduk permasalahan Freeport yang sebenarnya.

Namun yang aneh adalah yang jadi dasar mendukung pembentukan pansus Freeport adalah karena Ridwan Bae mempermasalahkan legalitas rekaman dari legal standing Menteri ESDM, Sudirman Said. Sangat tidak masuk akal alasan tersebut, bisa dilihat dan diprediksi jika pansus tersebut dibentuk, yang ada justru bukan untuk kepentingan nasional terkait Freeport yang ada justru untuk kepentingan tertentu dari berbagai pihak. Lalu, "Silent  Operation" apakah sebenarnya yang sedang berlangsung?

6.Siapa yang Diuntungkan dalam Kasus Setya Novanto?
Bicara soal kontrak PT Freeport Indonesia nyaris identik dengan sosok Setya Novanto. Pentholan anggota dewan ini pun menjadi bulan-bulanan berita. Terkait artikel yang digawangi Syaripudin Zuhri yang berjudul ”Siapa yang Diuntungkan Dalam Kasus Setya Novanto?”, jawabannya, menurut Syaripudin tentu banyak sekali. Dua di antaranya yaitu:

Pertama, yang untung dalam kasus Setya Novanto adalah Setya Novanto( SN) sendiri sebagai Ketua DPR RI. Sebuah kedudukan yang sangat terhormat, karena dari kurang lebih 250 juta penduduk Indonesia, hanya satu orang yang menduduki jabatan ketua DPR RI tersebut.

Bukan hal yang main-main. Dengan fasilitas negara yang tak kurang banyaknya itu, jika pun ia salah, masih banyak yang membelanya, terutama dari partai-partai di dalam KMP, Koalisi Merah Putih.

Kedua, siapa yang lagi yang diuntungkan dalam kasus SN ini. Tentu saja Presiden Jokowi, iya Presiden Jokowi diuntungkan dengan adanya kasus SN.

Jokowi bisa mengebrak meja dan Jokowi bisa marah, dan memang harus marah. Jokowi yang jarang marah terlihat marah, dan ini marah sungguhan! Karena selama ini Jokowi terkenal dengan kesabarannya, dihina, dicaci-maki, di-bully, dikatakan apa saja Jokowi diam saja, ora opo-opo.

[caption caption="KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO Anggota DPR, dari kiri Adian Napitupulu (PDI Perjuangan), Taufiqulhadi (Nasdem), Inas Nasrullah (Hanura), dan Harvin Hakim Thoha (PKB), memberi keterangan kepada wartawan terkait kasus Ketua DPR Setya Novanto di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (20/11)."]

[/caption]

7. MKD Tetap Fokus, Kejagung Luaskan Fokus
Hebohnya soal Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), menurut Susy Heryawan malah tidak karu-karuan. Kinerja yang cenderung adu otot dan ngotot siapa yang hendak diteliti. Rekaman yang malah dikatakan menyadap yang melanggar hukum, ketika dikupas mereka yang salah bergeser menyebarkan rekaman. 

Luar biasa luas implikasi rekaman ini jangan sampai berhenti dengan tidak ada bukti, atau mengorbankan dua orang atau lebih demi kepentingan kelompok yang sejatinya jahat namun berkedok seperti penyelamat.

***

Mengekstraksi dan menjernihkan riak-riak kontrak PT Freeport ibarat duduk di laboratorium kimia organik yang penuh rantai dan struktur yang ikatannya sulit terlepas. Dengan jernih melihat dan mengurai penuh cermat, polemik sumber daya yang tampak menguat dapat menguarkan ruas-ruas manfaat nan bermartabat. (KOB)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun