[caption id="attachment_414188" align="aligncenter" width="567" caption="Ilustrasi: Kompas.com"][/caption]
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Rini M. Soemarno, membenarkan kalau di awal-awal bulan Mei akan ada jenis bahan bakar baru yang diproduksi PT. Pertamina (Persero). Pertalite, namanya. Meski banyak isu beredar kalau Partelaite kelak akan menggantikan Premium, nyatanya tidak seperti itu. Pertalite ada di antara Premium dan Pertamax. Sebab salah satu alasan dibuat bahan bakar ini adalah supaya konsumen tidak melulu tergantung dengan Premium yang harganya kadang tidak stabil.
Namun akan menarik untuk disimak bagaimana Pemerintah menaik-turunkan harga BBM sebelum akhirnya Partalite benar diproduksi secara massal. Sebab menaikkan dan menurunkan harga BBM yang begitu sakral bagi rakyat, yang Pemerintah lakukan sudah seperti mengatur pendingin AC di sebuah ruang kerja saja: bila terlalu dingin, maka temperatur AC dinaikkan, bila terlalu panas, diturunkan, bila masih tidak cocok juga, suhu kembali dinaikkan supaya sesuai dengan suhu badan dan ruangan. Di akhir November 2014, Pemerintah menaikkan BBM untuk Premium Rp. 2.000,00 lalu di awal tahun 2015 –tanggal1 Januari, tepatnya– Pemerintah menurunkan senilai Rp. 1.000,00. Dan belum lama ini, per-tanggal 28 Maret 2015 kembali menaikkan Rp. 500,00.
Mas Iskandarjet, seakan mewakili segala keresahan rakyat Indonesia dengan artikelnya, Saatnya Ucapkan #TerimakasihJokowi di Konser #Salam2Ribu. Perhatian Mas Isjet (sapaan akrabnya kepada Kompasianer) lebih ditujukan ke efek atau dampak yang akan terjadi dengan dinaikkannya harga BBM sebesar dua ribu rupiah: harga kebutuhan pokok, sembako, transportasi umum, dan lain-lain.
[caption id="attachment_414190" align="aligncenter" width="447" caption="Foto: (KOMPAS.com) "]
“Sekalipun Presiden sudah menerbitkan sekian banyak kartu sakti, langkah yang dianggap terobosan itu bukan barang baru buat rakyat yang langganan menerima program bantuan ini itu pascakenaikan BBM (apalagi yang langganan tidak pernah tersentuh bantuan). Yang selalu jadi pertanyaan, apakah peningkatan bantuan sosial untuk rakyat miskin harus selalu diawali dengan menaikkan harga bensin?”
Bukan hanya itu, di Batam, Eddy Mesakh, merekam kegiatan yang terjadi di daerahnya bermukim dari siaran radio swasta dan nasib buruh akan kenaikan BBM –yang pada saat itu berunjuk rasa di depan kantor Walikota Batam. Eddy Mesakh dengan anggitannya, Hadapi Harga Baru dengan Upah Lama. Buruh semakin keberatan dengan usulan upah sebelumnya, lantaran harga BBM sudah naik, sementara harga kebutuhan pokok sudah duluan naik. Di samping itu, tidak ada kontrol pemerintah terhadap harga kebutuhan pokok sehingga sangat fluktuatif atau tidak menentu.
[caption id="attachment_414194" align="aligncenter" width="448" caption="Ribuan buruh dari berbagai kawasan industri di Batam memenuhi jalan di depan Kantor Walikota Batam, Selasa (18/11/2014) (foto: eddy mesakh) "]
“Dari atribut berupa bendera yang dibawa massa, tampaknya demonstran berasal dari Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSPI) dan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), dan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI). Tuntutan buruh dalam aksi tersebut agar Pemerintah Kota Batam merevisi kembali usulan UMK Batam 2015 yang diusulkan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (FKPD) sebesar Rp 2.664.302 (naik 10 persen dari UMK 2014 sebesar Rp 2,422.092) menjadi Rp 3.300.000. Buruh mendesak agar nilai inilah yang harus diusulkan Walikota Batam kepada Gubernur Kepri untuk ditetapkan sebagai UMK Batam 2015. “
Trilyunan rupiah yang digelontorkan untuk subsidi BBM ini dapat dipandang sebagai suatu pemborosan. Pada artikel yang berjudul Subsidi BBM Adalah Pemborosan, Segera Cabut Subsidi Karena Kami Siap Hidup Mandiri, Saefusin Sani, menjelaskan ada yang lebih berguna ketibang mensubsidi BBM. Biaya peningkatan kualitas pendidikan misalnya.
[caption id="attachment_414198" align="aligncenter" width="485" caption="ilustrasi: www.kaskus.co.id "]
“Niat untuk mengurangi (dan pada akhirnya menghilangkan) subsidi BBM dapat dimengerti serta dipahami oleh akal yang bersih, jernih, dan sehat. Usaha ke arah sana pun pelahan tetapi pasti sudah mulai dilakukan oleh pemerintahan, Harga BBM dalam negeri yang naik-turun naik-turun mengikuti harga minyak dunia adalah salah satu bukti bila pemerintah benar-benar serius hendak membuat rakyat semakin mandiri.”
Adalah frasa “untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” yang sering kita pandang sebagai konsep pembagian yang adil. Dengan kata lain, saat sumber daya alam atau SDA (bumi, air dan kekayaan alam) di negeri kita dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, saat itulah pembagian pendapatan ekonomi di negara kita telah dilakukan dengan adil. Itulah yang membuat Joko P menulis artikel berjudul: Ada “Jebakan Betmen” di Pasal 33 UUD 45?
[caption id="attachment_414203" align="aligncenter" width="448" caption="Ilustrasi | Foto: Ajie Nugroho - Kompasianer Hobi Jepret "]
“Dasar pemikiran pemikiran utilitarianisme ekonomi memang mengarahkan kita pada pengambilan kebijakan subsidi BBM eceran dengan tujuan maksimalisasi kemakmuran total seperti yang mungkin bisa ditunjukkan oleh indikator-indikator khas kemajuan negara seperti pendapatan nasional bruto dan bukan dengan tujuan pembagian pendapatan yang adil kepada seluruh masyarakat.”
Erwin Alwazir, dalam tulisannya “Kenaikan BBM dan Fanatisme Antar Rezim”, malah berpendapat bahwa perbincangan pro dan kontra terhadapat kenaikan BBM adalah semata pendukung maupun simpatisan rezim-rezim terdahulu terhadap pemimpin bangsa. Percuma saja kita disuguhi data betapa mahalnya BBM Indonesia dibanding ASEAN. Betapa tingginya harga-harga premium kita dibanding USA. Betapa manjanya bangsa kita dengan subsidi. Hal itu tidak akan menyelesaikan persoalan. Hanya membangkitkan ketegangan antar pendukung rezim.
[caption id="attachment_414208" align="aligncenter" width="480" caption="Ilustrasi: Lukman Aris"]
“Memang tak ada rezim yang istimewa. Semua bernilai plus-minus, tergantung pada rezim mana kita merasa lebih diperhatikan. Warisan dan pandangan politik orang tua sebelumnya juga turut menentukan ke rezim mana kita lebih berpihak.”
Namun, jadi akan terlalu berlebihan jika memaknai kenaikan BBM itu sebagai kegagal yang berlarut – meski hampir semua pemimpin negeri ini mesti “turun” dari kursi kepemimpinan dikarenakan rakyat yang terlanjur kecewa pada keputusan kenaikan BBM. Hanna Chandra membagi beberapa kiat kreatif untuk kenaikan BBM pada artikelnya, Begini Cara Menyikapi Kenaikan BBM Bersubsidi.
[caption id="attachment_414209" align="aligncenter" width="504" caption="Ilustrasi: Kompas.com"]
“Maksimalkan jumlah penumpang dalam satu kendaraan. Apabila kita memiliki teman satu kantor yang rumahnya relatif dekat dan searah dengan tempat tinggal kita, kenapa tidak saling menumpang saja? Lakukan hal ini secara bergantian, misalnya.”
Atau, jika memang perlu belajar dari Negara tetangga, Singapura, terkait harga BBM yang terlampau mahal pada tahun 1970-an, Isk Harus, menceritakannya dalam anggitannya Kiat Orang Singapore Menghadapi BBM Mahal
[caption id="attachment_414212" align="aligncenter" width="499" caption="Ilustrasi: Kompas.com"]
“Pergi ke Johor baru untuk isi BBM murah. Pada awalnya orang berbondong menyeberang ke Johor baru (Malaysia) untuk mengisi bensin murah. Lama-lama pemerintah Singapore memberlakukan peraturan. Kalau mau ke Johor harus minimum tangki bensin terisi separonya, masih ramai juga konon sekarang harus ¾.”
Tapi ada juga yang menarik, tak ada yang paling menyenangkan dengan menertawakan kenyataan –sepahit dan sepilu apa pun. Niko Simamora menegaskan itu di artikel miliknya, Harga BBM Naik, Ah Sudahlah…
[caption id="attachment_414214" align="aligncenter" width="496" caption="Ilustrasi: Kompas.com"]
“Kalau harga-harga naik, sementara penghasilan belum tentu meningkat, yang bisa dilakukan masyarakat hanyalah berhemat. Berhemat dalam artian hidup sebegitu irit yang penting bisa melaksanakan aktivitas.”
Barangkali, benar adanya seperti yang pernah Chairil Anwar tulis pada puisinya, “Nasib adalah kesunyian masing-masing.” Ya, Pemerintah seakan diam-diam menyimpan agenda lewat menaikkan BBM dan rakyat lebih suka menduga-duganya. (HAR)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H