Mohon tunggu...
Kompasiana
Kompasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Akun Resmi

Akun resmi untuk informasi, pengumuman, dan segala hal terkait Kompasiana. Email: kompasiana@kompasiana.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

11 Puisi Pilihan Maret 2015

4 April 2015   11:13 Diperbarui: 29 Desember 2015   16:12 6040
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_407522" align="aligncenter" width="595" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)"][/caption]Kalau bukan karena puisi, mana mungkin Nelson Mandela, Sang Madimba, bisa bertahan 26 tahun di penjara Robben. Puisi tak hanya milik penyair! Kenyataanya kini semua orang bisa menulis puisi; kapan dan di mana pun. Seorang sastrawan asal Makassar, M Aan Mansyur, dalam pengantar buku kumpulan buku puisi Andi Gunawan yang berjudul “Hap!” melihat fenomena tersebut, yakni puisi sudah banyak digemari oleh anak muda –di media sosial, khususnya– dan mereka mulai suka membaca puisi. Padahal puisi biasanya adalah seputar dunia yang sunyi.

Di bulan Maret 2015 ini paling tidak ada satu atau dua puisi per hari –yang mendapat kesempatan lebih– untuk bersanding di muka headline Kompasiana. Jumlah tulisan puisi juga lebih banyak ketimbang rubrik fiksi lainnya seperti Cerpen, Cermin, Drama, atau Dongeng di kanal Fiksiana. Sebuah perkembangan dan sanjugan yang pantas disematkan kepada para punulis puisi. Karena dengan puisi kita bisa melihat sebuah realitas atau merasakan keresahan penulisnya lewat kata-kata; yang tak melulu soal rima dan metafora.

Puisi-puisi yang hadir pun beragam, ada yang dengan gaya bahasa nyentrik sampai menggelitik. Paling tidak, inilah 11 puisi yang telah berhasil dikurasi oleh Kurator Kompasiana dan dibagi menjadi dua bagian: Puisi, Kamu, dan Hal-hal yang Pantas Dirindukan dan Puisi dan Cerita Negeri Ini selama bulan Maret 2015. Dari pembagian itu pun terdapat satu benang merah yang membuat antara satu puisi dan puisi lainnya saling terkait: keluwesan dalam bertutur dan sederhana ketika bercerita, sehingga siapa saja yang membaca bisa menikmatinya.

*) Puisi, Kamu, dan Hal-hal yang Pantas Dirindukan

Bahwa sebuah puisi, dengan bantuan jaringan internet, sudah banyak membantu penyebarannya. Walau memang kebanyakan nasib puisi kadang hanya sebatas dijadikan alat “penggombal paling mutakhir” ketika sudah kehabisan cara mendekati sang pujaan hati. Swazta Priemahardika, misalnya, membantu anak-anak muda dengan puisi berjudul Nyanyian Rindu Semusim (2)

Mungkinkah kau merindukannya?
Merindui jejak kaki yang terhapus di pantaimu
Merindui sunset usang yang terukir di bibir karang,
Entahlah, hatimu hanya sejenak kusinggahi
Sejak anak kepiting menggigit ujung jari
Kau riang tertawa, melihatku mengaduh menari

Dari potongan puisi itu seakan ada yang ingin disampaikan penulis atas kebersamaan yang lalu yang pernah dilalui bersama. Mungkinkah kau merindukannya? Begitu Swazta Priemahardika membuka keran cerita-cerita yang tak mungkin tak mudah dilupakan.

Menurut data yang dimiliki Kompasiana, Andi Wi baru terdaftar pada 6 Februari 2015, tapi selama itu pula ia konsisten menulis puisi. Di hadapan Andi Wi, puisi semacam jalan gelap di rimba-raya dunia kepenulisan; hanya ada sepi dan sunyi. Dia dan Puisi seperti jalan gelap dan lampu penerang yang rusak. Lihat saja puisinya yang berjudul Sepasang Kopi yang Diam:

Jam tangan masih berdetak
kita tertahan dalam kotak
pikiran masing-masing.

perempuanku…
setiap dialeg tubuhmu
selalu-serba ada, makna tersirat
yang tak kutahu.

Setelahnya, Ando Ajo menulis puisi berjudul Anomali. Hebatnya puisi yang ia tulis tidak hanya sebatas mencari rima dan memetafora kata, tapi menarasikannya pula. Menceritakan dan menyiratkan dengan halus rima juga metafora:

Lengkap melengkapi. Isi mengisi. Tiada cela dalam setiap hal ini. Seperti burung-burung bernyanyi riang menyambut pagi. Atau ocehan kelelawar di rembang petang. Ayunan rumpun padi seirama belaian sang bayu. Gemericik halus pada riam air yang berkejaran.

Lalu dilanjut dengan dua puisi dari Kamil Ichsan; Pagi yang Likang, dan Rahab Ganendra; Tepi. Dari kedua puisi itu kita akan memahami bahwa cinta takkan urung usai dikisahkan. Cinta tak kenal waktu juga tak kenal tempat. Dan mereka berdua menuangkannya dalam sajak:

Kadang kita perlu diam sejenak
Menjauh dari kerumunan
Memandang dengan tenang keriuhan
Agar kita paham;  “Inti keramaian”
– Pagi yang Likang

jika kau pernah duduk di serambi senja
dan menatap ufuk yang kian karam
mungkin kau merasakan
seperti itukah usia?
lahir dan menepi
– Tepi

*) Puisi dan Cerita Negeri Ini

Ada dua hal yang kita tahu dari seorang Wiji Thukul: perjuangan dan puisinya. Ia mencatat semua kejadian juga pergolakan rakyat lewat sajak-sajak yang ia tulis di buku hariannya selama pelarian. Berkat itu pula perjalanan panjang negeri ini dirampungkan –atau didokumentasikan– oleh puisi-puisinya.

Bukan ingin membandingkan atau menyamakan Wiji Thukul dan Jansori Andesta, tapi dari puisi yang Jansori gurat, Tentang Sebatang Pohon Beringin Tua, kelak kita akan bisa mengingat perihal partai besar Indonesia pada bulan Maret 2015 sedang panas-panasnya terkait pemilihan Ketua Umum. Puisi Jansori ini telah mendokumentasikan sebuah sejarah:

di sini ada sebatang pohon beringin tua
yang tumbuh berpuluh tahun lama
jadi saksi sejarah
yang terus berubah dari masa ke masa
pula disanjung dan dipuja
oleh mereka yang sedari lama
bernaung dan berlindung di bawah rindangnya
.

Juga puisi milik Sugiyanto Hadi yang berjudul Sebutir Peluru Beralamat Lengkap Untukku. Sepintas kita akan mengingat puisi Wiji Thukul “Aku Ingin Menjadi Peluru Juga” yang melegenda itu:

Sebutir peluru beralamat lengkap untukku, selebihnya selongsong kosong

Kuhadapi kini detik-detik lewat merambat lambat seperti siput

Saat angin beku, dingin mencengkeramkan kuku, dan malam larut

Merintih pilu.

Berhane dan Pical Gadi menggambarkan bahwa Indonesia itu tidak melulu diisi oleh orang-orang yang memiliki kepentingan seperti politikus. Tapi negeri ini juga terdiri dari orang-orang kecil yang kerap luput dari sorotan. Berhane, misalnya, dalam puisi yang berjudul Celoteh Pagi mengisahkan betapa sulitnya rakyat mendapat beras yang harga mendadak melonjak akibat ketersediaan pangan negeri menipis:

Pagi
Si mbok sudah mengeluh
Soal harga beras nan membumbung tinggi
Tak terkecuali Raskin jatah pun tak mampu lagi terbeli
“Makan tiwul saja le…”katanya sembari

Di lain puisi, Pical Gadi menceritakan secara blak-blakan tentang apa yang terjadi di pasar lewat puisi Pasar Sore:

Inilah balada yang ditiupkan dari antara kaki metropolitan, tiap kali senja membangunkan geliat ekonomi akar rumput
tentang pembeli
tentang pedagang
tentang recehan dan uang lembaran yang berputar dari dompet, tangan, saku dan kembali ke dompet.

Biar bagaimanapun juga, puisi bisa menjadi mata yang mampu memotret keseluruhan saat mulut tak kuasa berucap. Rinta Nainggolan dan Dewi Pagi melihat baik dan buruknya negeri kita. Buruknya memang tak jauh dari pemerintahan, karena mereka-merekalah negeri ini akan dibawa ke mana. Puisi Ilalang di Negeri Tuan yang Rinta Nainggolan berupaya melukiskan kerja-kerja pemerintahan:

Kelihatannya tuan puas dan berleha-leha

menikmati hamparan ilalang yang mendesik

dan membiarkan gandum terjepit

Seperti ada sesak dilarik puisi Rinta Nainggolan. Ketidakpuasan barangkali ungkapan yang tepat. Namun puisi juga tidak hanya selalu hal-hal negatif, tapi puisi juga mampu menjelma doa, atau harapan demi kelanjutan hajat hidup rakyat agar hidup sejahtera. Puisi yang dibuat Dewi Pagi, Negeri Seribu Satu Cinta, adalah soal pencarian orang-orang yang bisa menangkap harapan itu:

jadi kapankah engkau akan memulai?
sebelum aku terkulai
bacakanlah satu saja untukku
walau bait-baitnya penuh rongga dan berdebu.

Setidaknya dari kesebelas puisi yang telah dikurasi oleh Kurator memang belum sepenuhnya menjawab tentang estetik puisi yang benar-benar bergerak pada wilayah semantik. Namun, dari kesebelas puisi tersebut mampu memberi kita semacam“ruang imaji” bagi pembaca: bahwa puisi itu lahir dari keresahan intim dan ketulusan hati seorang penulisnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun