Tahun 2014 menjadi salah satu tahun bersejarah karena rakyat Indonesia kembali memilih presidennya. Setelah berada di naungan SBY selama dua periode, akhirnya muncul sejumlah nama baru di Pilpres. Tak hanya berasal dari kalangan politisi, di akhir tahun 2013, isu capres 2014 juga menghadirkan nama tokoh dari bidang nonpolitik. Rhoma Irama, Abraham Samad, Joko Widodo, dan Farhat Abbas adalah beberapa di antaranya. Kehadiran nama-nama ini sontak membuat perhatian publik mengarah penuh ke Pilpres. Banyak opini Pilpres berseliweran, beberapa pihak, termasuk warga kompasiana mencalonkan tokoh satu untuk berpasangan dengan tokoh lainnya, salah satu contoh bisa dilihat di artikel Heri Purnomo bulan Maret. Tanpa di sangka-sangka, nama Farhat Abbas sempat berada di peringkat dua polling kandidat Capres-Cawapres Kompasiana. Bersanding dengan Aburizal Bakrie, Farhat Abbas berada tepat di bawah calon Prabowo-Jokowi yang mendapat perolehan 28,57% suara Kompasiana. Namun akhirnya, isu Farhat Abbas jadi capres tenggelam bersamaan dengan pupusnya harapan anggota konvensi capres Demokrat. Karena pada tanggal 9 April 2014, usai digelarnya Pileg, laporan hitung cepat menunjukkan bahwa Demokrat hanya berhasil meraih 9, 40% suara, hal ini juga sempat diulas oleh Gacoor di artikelnya yang berjudul, "Apa Kabar Konvensi Demokrat". Demokrat berada di urutan ke empat, dibawahi oleh PDI yang berada di urutan pertama dengan raihan suara 19,68%. Meski PDI-P meraih perolehan terbesar, pileg tetap berakhir  "remis" karena tak ada satu pun partai yang berhasil meraih suara 25%  dan melalui artikelnya, Muhammad Ridwan membahas kemungkinan Pilpres dua putaran. Perkiraan Muhammad Ridwan meleset, pilpres tidak berakhir dua putaran, namun sebelum perhelatannya diadakan banyak peristiwa yang menyita perhatian publik di Indonesia. Dari terbentuknya koalisi "ramping" Jokowi dan koalisi "gemuk" Prabowo yang diistilahkan oleh Samandayu di artikelnya, hingga isu-isu panas yang menerpa kedua capres. Isu SARA dan tuduhan pelanggaran HAM adalah segelintir dari banyak isu panas yang dituliskan di Kompasiana. Perang isu gencar diserangkan dari pendukung kedua belah pihak sejak mereka mendeklarasikan diri dan pasangan hingga  jelang hari pemilihan. Di salah satu debat Pilpres bahkan Jusuf Kalla sempat dengan berani melempar pertanyaan seputar HAM langsung kepada Prabowo, dan hal ini membuat Prabowo dikabarkan menyiratkan sedikit emosinya di debat, seperti yang diulas oleh Sigit Santoso di artikel, "Salahkah Pertanyaan HAM JK?". Pernyataan dan benturan antar dua kubu tak terelakan, pendukung dari kedua pasangan gencar membela pasangan jagoannya tak hanya lewat saluran televisi, tetapi juga akun sosial media. Bahkan dua dari bentuk dukungan untuk capres berakhir menjadi sensasi nasional, lihat kasus tokoh budayawan Wimar Witoelar dengan "Galerry of Rouges" unggahannya dan Ahmad Dhani lewat seragam NAZI yang dikenakannya di video kampanye. Setelah menjalani lima sesi debat, dan kegiatan kampanye akhirnya keputusan untuk Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta ditentukan di hari H pemungutan suara. Saat itu banyak laporan dari Kompasianer tentang jalannya Pilpres di daerah masing-masing. Semua informasi dari kawan Kompasiana di berbagai daerah dikumpulkan dalam arsip Topik Pilihan Laporan dari TPS. Selesainya proses pemungutan suara tak sontak menghentikan drama Pilpres. Setelah usai dengan pemungutan suara pada tanggal 9 Juli 2014, benih konflik lainnya muncul. Pasalnya, seperti yang dilaporkan oleh Habsul Nurhadi, dari 12 lembaga hitung yang ada, 8 lembaga memenangkan pasangan Jokowi-JK, dan 4 lembaga memenangkan pasangan Prabowo-Hatta. Hasil ini memicu respon cepat dari kedua kubu. Dua pasangan capres langsung mengklaim kemenangan mereka dan memicu ketegangan antara dua kubu pendukung. Saat itu kemungkinan timbulnya kerusuhan sangat tinggi namun hal ini berhasil diredam karena seperti yang diopinikan Solehuddin Dori di artikelnya, dengan sigap, Presiden SBY memanggil kedua capres-cawapres dan meminta mereka untuk tidak mengadakan perayaan besar-besaran di jalan. Sayangnya, pesan SBY tak mampu membendung kemelut lain yang muncul setelah hasil perhitungan KPU. Pada tanggal 22 Juli 2014 KPU menyatakan hasil hitungnya dan memenangkan pasangan Jokowi-JK seperti yang direportasekan oleh Blasius Mangkaka di artikelnya. Laporan KPU menunjukkan bahwa Jokowi-JK unggul dengan perolehan suara sebesar 53, 15%. Sebelum itu, suasana penghitungan berlangsung tegang karena di tengah proses penghitungan, tepat pada pukul 14:40 tanggal 22 Juli 2014, Prabowo memberi pernyataan bahwa ia dan pasangannya menarik diri dari semua proses yang dilangsungkan oleh KPU. Pernyataan mundur Prabowo sontak menggegerkan pihak lawan dan publik. Prabowo dan pihaknya menilai bahwa banyak terjadi kecurangan di proses Pilpres yang membuat hasil hitung KPU tidak menunjukan angka yang valid. Salah satu tokoh terkemuka, Yusril Izha Mahendra dalam artikelnya menyatakan bahwa mundurnya Prabowo-Hatta tidak memengaruhi hasil KPU dan menyarankan agar pihaknya mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Tak lama usai rilis KPU, Prabowo-Hatta bersama kuasa hukumnya melaporkan beberapa kecurangan yang ditemui olehnya dan tim suksesnya selama Pilpres ke Mahkamah Konstitusi karena sesuai rilis MK, proses gugatan Pilpres dibuka selama 3x 24 jam usai pengumuman KPU. Pilpres memasuki babak baru, yakni proses gugatan Pilpres ke Mahkamah Konstitusi. Sidang pertama gugatan ini diselenggarakan pada Rabu (6/8), MK  meminta perbaikan di berkas gugatan karena sesuai dengan reportase Manly Villa, 4 hakim MK menilai bahwa berkas yang dilayangkan tim kuasa hukum Prabowo-Hatta perlu perbaikan. Salah satu kompasianer, Ninoy Karundeng menilai bahwa langkah gugatan Prabowo menjadi blunder kedua setelah pidato mundurnya di Polonia. Di antara beberapa alasan yang diajukan, di berkas permohonan tercatat bahwa ada perbedaan jumlah daftar pemilih tetap (DPT) faktual sebagaimana hasil rekapitulasi KPU pada 22 Juli 2014 dengan SK KPU No 477/Kpts/KPU/13 Juni 2014. Pasangan nomer urut satu meminta MK menyatakan putusan KPU batal dan tidak sah. Seperti yang dituliskan oleh Sulthon Muhammad di kompasiana, Prabowo-Hatta meminta MK mengembalikan perolehan suara yang benar, sesuai dengan angka yang dicantumkan dalam berkas gugatan, yakni pasangan Prabowo-Hatta dengan 67.139.153 suara dan pasangan Jokowi-JK dengan 66.435.124 suara. Selain menyatakan ketidakvalidan rekapitulasi KPU, Prabowo-Hatta meminta pemungutan suara ulang di sejumlah TPU karena menurut kubu Prabowo-Hatta terdapat kecurangan yang dilakukan di lebih dari 5000 TPU di Indonesia. Proses sidang gugatan Pilpres juga berhasil menyedot perhatian publik Indonesia, tak hanya karena bukti-bukti yang diajukan oleh tim kuasa hukum Prabowo-Hatta, tetapi juga karena sidang menghadirkan beberapa saksi yang membuat suasana sidang penuh dengan kejutan. Sebut saja Novela Nawipa dengan kesaksian lugunya tentang TPS di Paniai Timur, Papua. Dalam artikelnya, Zulkarnain El Madury menyebut bahwa Novela adalah sarana refreshing hakim MK. Sidang gugatan berjalan lancar sampai sidang terakhir tanggal 21 Agustus 2014, Mahkamah Konstitusi membacakan hasil putusannya. Seperti yang dituliskan oleh Rullysah yang juga menyebutkan 5 poin penting putusan akhir gugatan Pilpres, MK menolak segala permohonan yang diajukan oleh kuasa hukum terkait Pilpres Prabowo-Hatta. Dengan ketukan palu dari Ketua MK, Hamdan Zoelfa, maka hasil sidang membulatkan keputusan KPU sehingga Jokowi dan Jusuf Kalla tetap menjadi Calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih 2014-2019. (ELA)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H