Mohon tunggu...
Kompasiana
Kompasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Akun Resmi

Akun resmi untuk informasi, pengumuman, dan segala hal terkait Kompasiana. Email: kompasiana@kompasiana.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Jilboobs Antara Metamorfosis, Esensi Jilbab, Fenomena tapi Bukan Tren Fashion Muslim

6 September 2014   18:01 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:27 3151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_357577" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi Jilbab/Kompasiana (Kompas.com)"][/caption]

Jilboobs, akronim dari Jilbab dan boobs (dada) ini menjadi istilah yang makin ramai diperbincangkan di media sosial pada awal Agustus 2014. Sebagian orang sudah mendengarnya sejak setahun silam, yakni merujuk pada cara berpakaian wanita berkerudung yang masih menggunakan pakaian ketat membentuk tubuh, terutama di bagian atas atau dada.

Memang benar, gaya berpakaian kembali kepada selera personal. Kalau bicara fashion, tren yang berkembang saat ini adalah setiap orang punya personal style yang menjadi karakter dan mengidentifikasikan dirinya. Hal ini juga berlaku untuk muslimah. Namun, terlepas dari berjilbab adalah salah satu cara perempuan menjalankan ajaran agama, ketika seorang perempuan memutuskan memakai jilbab, memakai busana tertutup, maka ia telah mengidentifikasikan dirinya sebagai muslimah yang punya tatacara tersendiri dalam berbusana. Artinya, gaya busana muslimah selain menunjukkan identitas dirinya, gaya personalnya, semestinya juga mengikuti tatacara berpakaian yang semestinya.

Kembali kepada Jilboobs, istilah yang merujuk cara berpakaian sebagian perempuan berkerudung, ini sebenarnya bukan isu baru. Fenomena ini juga pernah muncul setahun silam dengan istilah berbeda.

Kepada Kompasiana, desainer busana muslim yang juga anggota Asosiasi Perancang dan Pengusaha Mode Indonesia (APPMI), Hannie Hananto mengatakan fenomena seperti Jilboobs sudah didengarnya sejak satu tahun lalu. Beberapa waktu belakangan menjadi booming karena ada yang memuat foto Jilboobs di Facebook. Menurut Hannie, istilah Jilboobs sebenarnya awalnya adalah sindiran untuk busana muslim tertentu, untuk orang yang kurang pengetahuannya dalam memakai busana muslim.

Kompasianer pun membahas mengenai kemunculan kembali isu Jilboobs pada 2014 ini. Salah satunya Abd.Ghofar Al-Amin yang mengulas tren berpakaian mengenakan jilbab tapi memperlihatkan lekuk tubuh tertentu, sejak era 1998 hingga 2004. Dalam tulisannya berjudul Jilboobs, Fenomena Lama Yang Ngetren Kembali, ia mengulas istilah yang menjadi fenomena di masa itu, yakni Atas Kerudung, Bawah Warung.

Mengutip Abd.Ghofar Al-Amin, “Kerudung” adalah penutup kepala, sementara “Warung” berarti tempat berjualan, tempat memajang dagangan, di mana calon pembeli bisa melihat bahkan pegang sana-sini dengan sepuasnya tanpa harus membayar. Bagian kepala memang ditutupi, tapi bagian bawah “terbuka” dan bisa dinikmati oleh siapa saja. Mengenakan jilbab model “Atas Kerudung, Bawah Warung” kini kembali marak dengan istilah baru bernama “Jilboobs”. Istilah Jilboobs sendiri, berdasarkan penelusuran google sudah ada sejak Februari 2013.

Menyoal Atas Kerudung Bawah Warung, Achmad Suwefi juga mengulas mengenai Jilboobs dan alasan mengapa wanita berkerudung memilih gaya berbusana ini.

Fenomena lama yang seakan "ngetren" lagi ini, menurut Hannie semestinya jangan dilihat sebagai tren busana muslim. "Jilboobs bukan tren fashion muslim, sama sekali bukan, justru mendeskreditkan jilbab, saya sesalkan hal-hal semacam ini," katanya dalam perbincangan singkat dengan Kompasiana.

Meski begitu, Hannie tidak ingin mencela mereka yang mengenakan Jilboobs. Tak seharusnya mereka dicela. Mereka adalah perempuan yang sedang berproses, dalam tahapan awal memakai kerudung. Mereka menutup rambut dan kepalanya, namun belum menutupi dadanya. Karenanya edukasi menjadi lebih penting ketimbang mencela kalangan yang disebut Jilboobs ini.

"Mereka masih dalam proses awal, sedang bangga pakai kerudung juga eksistensi diri. Fenomenanya yang muncul adalah mereka ingin mengekspresikan dirinya," kata Hannie yang lebih menekankan pentingnya edukasi kepada perempuan yang baru belajar berhijab, sekaligus menjadikan fenomena ini sebagai pembelajaran bagi kalangan yang belum mengerti berhijab, untuk kemudian mencari referensi pakaian muslimah yang seharusnya.

Inilah pandangan Hannie yang sudah berkiprah di fashion muslim lebih dari 20 tahun. Kompasianer juga punya pandangan mengenai Jilboobs dan menuliskannya dengan berbagai perspektifnya. Bukan bermaksud mengelompokkan golongan atau mengkotakkan pandangan, berikut ada beberapa sudut pandang yang terkumpul dari tulisan atau ulasan Kompasianer menyoal Jilboobs ini. Beberapa di antaranya berpandangan senada dengan Hannie Hananto, bahwa pengguna Jilboobs bisa jadi sedang berada dalam tahap belajar, masa awal memakai kerudung. Simak sudut pandang Kompasianer berikut ini:

Metamorfosis sekaligus pembelajaran

Pemilik akun Leni 8283 mengutarakan pengalamannya memakai jilbab dan busana perempuan berjilbab. Pandangannya yang menjadi highlight adalah bagaimana perempuan berjilbab, ketika memakai busana, perlu punya rasa malu dengan jilbab yang dipakainya. Artinya, jilbab mengingatkannya untuk mengukur kepantasan berbusana. Malu kalau berjilbab tapi masih pakai baju ketat apalagi menonjolkan dada, malu foto narsis dengan jilbab namun pakai baju ketat, dan sebagainya. Leni juga berpendapat dari pengalamannya memakai jilbab, seiring waktu, pengguna jilbab akan mengerti arti ber-jilbab itu sendiri. Fenomena jilboobs memang bikin sedih tapi bagi Leni, mencela dan saling serang nampak bukan solusi.

Masih menyoal proses berjilbab, Anto Karsowidjoyo, juga menuliskan bahwa fenomena Jilboobs justru bisa menjadi pembelajaran bagi perempuan untuk lebih paham caranya padu padan jilbab dengan pakaian yang disenanginya. Anto memahami bahwa ada kebutuhan tampil modis pada perempuan berjilbab, tetapi bukan berarti seorang perempuan sekadar pakai kerudung menutup kepala tapi lupa membalut tubuhnya dengan menutupi auratnya. Jangan sampai mengikuti tren fashion tanpa mementingkan maksud dan tujuan berhijab atau jilbab.

Berhijab semestinya untuk menjalankan ajaran agama, bukan dengan tujuan lain seperti menarik pandangan lawan jenis dan ingin terlihat cantik, gaul, dan modis semata tanpa pedulikan tata krama berbusana untuk muslimah. Keinginan terlihat modis dan seksi ini juga dituliskan Dean Ridone. Keinginan yang sebenarnya bertolak belakang dengan esensi berjilbab.

Ulasan mengenai jilboobs yang membahas mengenai masa transisi juga disampaikan oleh desainer busana muslim Dian Pelangi, seperti yang dituliskan pemilik akun Arrahmah Nusantara Network. Bagi Dian, Jilboobs adalah persoalan masa transisi seorang muslimah yang baru memakai jilbab. Pemakluman menjadi sikap yang muncul kemudian.

Banyak lagi Kompasianer yang berpandangan bahwa Jilboob adalah bagian metamorfosis seorang muslimah dan menyarankan sebaiknya jangan lantas Jilboobs disalahkan apalagi diolok-olok. Rizki Lestari menuliskan pengalaman dan pandangannya mengenai jilbab sebagai bagian metamorfosis dan ajakan untuk tidak menyalahkan Jilboobs. Kompasianer yang juga seorang dokter, Wahyu Triasmara, juga mengajak untuk tidak mengolok Jilboobs yang sebenarnya sedang berusaha menjadi lebih baik.

Menanggapi tulisan Rizki Lestari, Kompasianer Rahmad Agus Koto dengan tegas menyampaikan pandangannya mengenai sisi positif fenomena Jilboobs yang bisa menjadi pembelajaran bagi para orangtua. Jilboobs, bagi Rahmad, menjadi peringatan bagi orangtua yang mempunyai anak-anak gadis, bagi pemerhati perkembangan dan kemajuan agama, bagi para penegak-penegak tiang-tiang agama.

Peringatan dan ajakan untuk wanita

Pandangan lain yang juga muncul di Kompasiana terkait fenomena Jilboobs di antaranya peringatan untuk wanita dalam menjaga tubuhnya. Bagi sebagian orang, fenomena Jilboobs membuat "gerah" sekaligus peringatan untuk wanita.

Afriyana Anzira
menyoroti fenomena Jilboobs lantaran merasa miris dengan pilihan berbusana ini. Ia pun dengan tegas mengajak perempuan berjilbab untuk memahami kembali esensi berjilbab. Kekhawatiran yang muncul dan dituliskan Afriyana mengenai fenomena Jilboobs terkait dengan pornografi dan pornoaksi yang selalu menempatkan perempuan sebagai objek. Dalam tulisannya, Afriyana mengajak perempuan berjilbab untuk melindungi dirinya, seperti kutipan berikut, "Jika kita lengah dalam menjilbabi aurat kita, para pria yang tidak bisa menjilbabi pikirannya akan mudah terpancing, baik dengan cara mengonsumsi sebebas mungkin gambar kita, menghujat kita dengan kata - kata yang tidak wajar, maupun yang di depannya menghujat tapi di belakang malah senang memandangnya (yang seperti ini juga ada loh!)."

Bermaksud saling mengingatkan, sejumlah tulisan Kompasianer menekankan mengenai busana muslimah sesuai syariat Islam. Fenomena Jilboobs pada akhirnya memunculkan berbagai bentuk edukasi mengenai busana syar'i untuk muslimah, dan bagaimana sebaiknya muslimah mengenakan pakaian yang sepantasnya. Eva Mitrawati , Ira Oemar , Jonatan Sara , Rizqi Awal , Buhairi Rifqa Moustafid , dalam empat hari berturut-turut bergantian memberikan pandangan yang bisa membuka wawasan siapa pun yang membacanya.

Pada akhirnya, semoga fenomena Jilboobs ini memang semata sindiran seperti apa yang disampaikan Hannie Hananto di awal ulasan ini. Bahwa Jilboobs pada awalnya adalah sindiran yang ingin mengingatkan wanita agar berpakaian sepantasnya ketika memutuskan untuk berkerudung. Walau sebenarnya, jika maksudnya mengingatkan, siapa pun yang menciptakan istilah Jilboobs pertama kali bisa memilih cara yang lebih santun, dengan kasih sayang bukan sesuatu yang bisa memunculkan cemoohan. Cheisa M menilai munculnya istilah Jilboobs dan fenomenanya sebagai cara menasehati dengan angkuh dan bukanlah dakwah yang baik.

Kalau saja dakwah mengenai jilbab yang baik disampaikan dengan cara baik tanpa menimbulkan konotasi negatif, MUI mungkin tak perlu sampai mengharamkan Jilbobs. Kalau kembali kepada pandangan bahwa Jilboobs dan penggunanya adalah kalangan pemula yang sedang belajar dan berproses memakai jilbab, maka pertanyaannya kemudian atas sikap MUI adalah, kenapa berjilbab malah diharamkan?

Jilbobs dan fenomenanya memang mengundang tanda tanya, kebingungan, keprihatian, kekhawatiran sekaligus juga membuka pandangan bahwa ada kalangan yang sedang belajar berjilbab sehingga sebagian orang memilih sikap memakluminya. Fenomena yang nyatanya telah membuka ruang bagi siapa pun untuk berbagi pandangan. Termasuk Kompasianer dengan berbagai latar belakang dan perbedaan pandangan yang bebas bertanggungjawab menuangkan aspirasinya dalam tulisan.

Tulisan yang kemudian melahirkan bahan bacaan yang membuka wawasan, mengedukasi pembaca, kemudian mengembalikan penilaian secara pribadi ke dalam diri untuk kemudian membuat keputusan dalam menyikapi fenomena semacam ini. Apakah menilai Jilboobs sebagai metamorfosis perempuan yang sedang belajar berjilbab, salah kaprah esensi jilbab? Namun tidak menilai Jilboobs sebagai tren fashion muslim, karena gaya berpakaian ala Jilboobs tidak memenuhi persyaratan dasar tren fashion muslim yang diciptakan para desainer busana muslim, antara lain tidak ketat, tidak memperlihatkan lekukan tubuh, tidak transparan. (WAF)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun